Oleh: Ahmad Z.R |
Rencana perluasan penempatan perwira TNI di sejumlah kementerian atau lembaga (K/L) tidak tepat, tidak strategis dan tidak menyelesaikan masalah mendasarnya bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pembinaan personel di tubuh TNI dan pembangunan pertahanan.
Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti rencana penempatan perwira di jabatan sipil. Hal itu ditandai dengan cukup banyaknya program-program pemerintah maupun kegiatan-kegiatan sektoral yang melibatkan TNI. Di antaranya adalah pelibatan yang dilakukan melalui nota kesepahaman antara sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah dengan Mabes TNI.
“Pelibatan itu dalam pelaksanaannya kemudian bukannya tanpa ekses negatif baik di internal Kementerian atau lembaga (K/L), maupun di masyarakat. Sebut saja dalam program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur di Papua dan sejumlah daerah lainnya, juga dalam kegiatan pengamanan obyek vital di sektor perhubungan maupun ESDM,” kata Khairul, Senin (25/2).
Ia menyarankan agar pemerintah tidak meneruskan rencana itu. Menarik-narik TNI dalam urusan-urusan sipil jelas bukan gagasan baik. Terlebih, tak mungkin memisahkan politik dan pemerintahan. Menempatkan perwira TNI di posisi-posisi strategis K/L sama saja dengan membuka jalan bagi kembalinya militer ke kancah politik, dan itu jelas melawan amanat reformasi.
“Pemerintah mestinya memahami bahwa TNI sebagai tentara yang lahir dari perjuangan kemerdekaan secara alamiah memiliki karakteristik praetorian. Sulit bagi mereka untuk memisahkan diri antara peran sebagai tentara profesional, atau sebagai pejuang. Karena itu, pelibatan mereka dalam event-event politik pemerintahan dan kenegaraan selalu dimaknai sebagai sesuatu yang heroik, sebagai kontribusi terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara,” jelasnya.
Sementara di sisi lain, pemaknaan itu justru mendegradasi demokrasi, membentuk citra negatif ketidakmampuan bahkan kegagalan sipil dan seolah hanya militerlah yang dapat diandalkan perannya dalam mengelola pemerintahan dan negara ini.
Berpijak dari realitas itu, ia menyatakan rencana perluasan penempatan perwira TNI di sejumlah K/L tidak tepat, tidak strategis dan tidak menyelesaikan masalah mendasarnya bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pembinaan personel di tubuh TNI dan pembangunan pertahanan.
“Kita juga tak bisa menutup mata akan adanya potensi konflik di internal organisasi Kementerian atau lembaga yang dimasuki. Ingat, para perwira itu bukan akan dimasukkan ke sebuah ruang kosong. Tempat-tempat itu juga sudah berisi banyak orang,” kata dia.
Sementara UU ASN sendiri telah memiliki solusi terkait pemenuhan kebutuhan personel ahli dan kompeten dengan skema rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Skema ini dapat digunakan mulai dari posisi eselon 1 hingga tenaga-tenaga terampil untuk level staf.
“Artinya, tak mudah merealisasikan rencana itu tak bisa sebagai solusi permasalahan di tubuh TNI. Permasalahan pengangguran itu tak boleh dipaksa untuk diselesaikan secara instan hanya untuk mengejar citra positif pemerintah di tahun politik ini, apalagi sekadar untuk meraih dukungan militer terhadap rezim,” ujarnya.
Salah satu pintu masuk realisasi yang digunakan pemerintah adalah dengan menggulirkan wacana revisi UU TNI yang sudah berusia 15 tahun. Perubahan memang sudah diperlukan untuk menyesuaikan kondisi dan tantangan zaman. Sebagai payung hukum dan landasan operasional, UU yang baik mestinya punya proyeksi strategis dan antisipatif terhadap kebutuhan masa depan.
“Lalu apakah memasukkan agenda penempatan perwira TNI itu sesuatu yang layak? Bagi saya jawabannya tidak. Pencabutan dwifungsi itu final dan mestinya ditandai dengan hilangnya praktik-praktik pelibatan TNI dalam hal-hal yang bukan tugas pokok dan fungsinya. Revisi UU TNI tak boleh membuka peluang dwifungsi hadir dengan baju dan identitas baru, apalagi dengan alasan-alasan yang tak meyakinkan sama sekali,” katanya.
Maka tak ada pilihan lain bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil selain berteriak lantang menolaknya. Hal ini mengingat pembatasan kiprah TNI di ranah sipil itu bukannya tanpa afirmasi. Undang-undang sudah membuka peluang bagi personel TNI untuk bisa mengisi posisi di 10 K/L, kemudian masih ditambah lagi dengan 3 lembaga, melalui payung peraturan presiden. Afirmasi itu cukup fair karena masih berada dalam ruang lingkup kompetensi dan keahlian para personel TNI itu.
“Lalu, meskipun tak diperkenankan secara permanen, TNI melalui kegiatan operasi militer selain perang (OMSP) dan kerjasama-kerjasama terbatas dengan sejumlah K/L juga masih dapat dilibatkan sesuai urgensi dan kebutuhan,” katanya.
Jikapun harus ada payung hukum baru bagi pelibatan TNI itu untuk memastikannya tak berjalan melenceng, menurut dia, jawabannya bukanlah memasukkan rencana itu dalam agenda revisi UU TNI.
“Dalam hal ini, saya lebih tertarik untuk menyarankan pemerintah dan parlemen mau membuka diri terhadap konsep RUU Perbantuan TNI yang diusulkan sejumlah elemen masyarakat untuk memayungi, mengendalikan dan mengawasi pelibatan TNI dalam urusan penegakan hukum, keamanan dalam negeri, maupun pelaksanaan pembangunan dan program pemerintah di berbagai sektor,” tandasnya. (TA)