Oleh: Suandri Ansah |
Selama 7 tahun belakangan, penggunaan bot telah dipetakan ke bahasan komunikasi politik.
Indonesiainside.id, Jakarta — Salah satu pertarungan hebat para pendukung kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019 selain terjadi di darat, juga berlangsung di “udara” alias di dunia maya.
Sebuah wilayah yang kelak oleh Paslon 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dijanjikan “tol langit”. Tapi, seringkali, untuk memenangkan pertarungan, kemungkinan membentuk pasukan robot sosial media di kedua kubu sangat besar.
Kemungkinan membentuk semacam satuan elit untuk menembakkan mortir cuitan, rudal-rudal tagar lewat strategi trending topic. Semakin canggih robotnya, semakin halus opini politiknya. Selama 7 tahun belakangan, penggunaan bot telah dipetakan ke bahasan komunikasi politik.
Penelitian Oxford dan University of Southern California, menunjukkan bahwa bot digunakan untuk mendongkrak citra politisi, memoles ide politiknya terlihat populer daripada langsung menyerang lawan.
Mengutip, Philip N. Howard, Samuel Woolley & Ryan Calo (2018), Algorithms, bots, and political communication in the US 2016 election: The challenge of automated political communication for election law and administration, dalam Journal of Information Technology & Politics,
Menjelaskan bahwa Robot atau Bot merupakan perangkat lunak automasi yang melakukan tugas-tugas dalam jaringan. Mereka menulis layaknya manusia dan melakukan beberapa tugas informasi yang sifatnya hafalan.
Ismail Fahmi, perancang platform analisis media sosial Drone Emprit, merupakan salah satu analis yang aktif mempublikasikan hasil monitoring isu hangat yang banyak dibicarakan orang, termasuk hiruk pikuk perbincangan politik.
Pada 14 Januari 2019, tiga hari sebelum debat Pilpres pertama, Fahmi merilis hasil pemetaan perang tagar #VisiMisiJokowiMenang versus #HaramPilihPemimpinIngkarJanji. Drone Emprit waktu itu diminta salah satu influencer dari 01 untuk menganalisis perang ini.
Tagar #HaramPilihPemimpinIngkarJanji sering muncul bersama tagar lain seperti #UdahKhilafahAja, #HaramPilihPemimpinDzalim, #YgDzalimTinggalinAja, #TerbuktiDustaJadiPetaka, dan seterusnya.
Fahmi memaparkan, ketika dilihat lebih dalam, tagar-tagar ini dibuat akun-akun terkait dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan turut diramaikan oleh sebagian influencer dari kubu 02. Pada percakapan ini, didapat bahwa interaction rate-nya rendah sekali.
Hanya 1,62. Banyak twit yang tidak mendapat retweet atau reply. Menurut Fahmi, ini adalah ciri kampanye yang menggunakan robot. Kebanyakan robot yang digunakan memiliki follower sedikit.
Sedangkan, #VisiMisiJokowiMenang yang dibuat oleh kubu 01 interaction rate-nya lebih rendah lagi, yaitu 0,76. Jauh lebih banyak twit yg tidak mendapat retweet/reply.
Paparan data menunjukkan, penggunaan robot jauh lebih masif dibanding rivalnya dari kubu 02. Namun robotnya lebih canggih, tidak lagi memiliki follower yang sedikit, namun kebanyakan memiliki follower di atas 100.
Pembacaan Drone Emprit menyimpulkan, dalam perang tagar ini, kubu 01 menggunakan lebih banyak robot dalam twitnya dibanding kubu 02 yang dibantu HTI.
“Pola kerja robot dari kedua kubu sama-sama lebih banyak menggunakan twit baru atau mention, dalam mengirim pesan singkat yang disisipi dengan tagar. Twit-twit tersebut tidak mendapat interaksi, alias sedikit retweet atau reply,” kata Fahmi.
Tobias R. Keller dan Ulrike Klinger, peneliti Departemen Komunikasi dan Riset Media Universitas Zurich, Swiss menganalisis pengikut Twitter dari tujuh partai di Jerman sebelum dan selama kampanye pemilu 2017 tentang prevalensi dan kegiatan bot.
Hasilnya, pangsa bot meningkat dari 7,1 persen sebelum kampanye menjadi 9,9 persen selama kampanye pemilihan. Analisis distribusi konten oleh bot populer dan aktif menunjukkan, Bot menyebarkan beberapa tagar politik, dan hampir tidak ada yang merujuk pada politik Jerman.
The Guardian melaporkan, pada 2016, bot sengaja dilepaskan ke media sosial untuk mempengaruhi opini pemilih dengan menyebarkan berita palsu dan menipu algoritma yang sedang tren. Manipulasi politik di media sosial berimplikasi nyata bagi pemilihan jangka menengah di Amerika Serikat pada 2018.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mereka yang memulai kampanye propaganda digital mulai memusatkan perhatian mereka pada sub-bagian spesifik dari populasi AS dan konstituensi di negara-negara bagian. (Kbb)