Oleh: Ahmad ZR |
Kontestasi politik 2019 menjadi titik strategis untuk menentukan ke mana arah pembangunan nasional pada masa lima tahun yang akan datang.
Indonesiainside.id, Jakarta — Ada pameo mengatakan, jika suatu bangsa lupa pada sejarah, maka mereka tidak memiliki pijakan kuat untuk menjadikan sejarah sebagai pelajaran di masa kini. Karenanya, sudah seharusnya Bangsa Indonesia mengingat kembali peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan sejarah republik ini, termasuk 11 Maret 1966 ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dibumihanguskan dari bumi ibu pertiwi.
Putri mantan Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto Siti Hediati Hariyadi menuturkan, Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal juga dengan Supersemar, adalah produk konstitusional. Surat itu dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka pemulihan keamanan dan ketertiban akibat pemberontakan PKI 30 September 1965.
“Supersemar juga merupakan surat perintah untuk mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa, yang telah tergerus oleh Nasakom dengan dominasi paham Komunismenya PKI. Berdasarkan Supersemar tersebut, kemudian PKI pun dibubarkan pada 12 Maret 1966,” ujar perempuan yang lebih dikenal dengan sapaan Titiek Soeharto itu dalam seminar nasional bertajuk 53 Tahun Supersemar 1966, Kepemimpinan Nasional Dalam Perspektif Pancasila di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/3).
Dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1966, Bung Karno mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena berhasil memulihkan keamanan dan ketertiban serta mengamankan keberlangsungan ideologi Pancasila. Pada akhirnya, Supersemar menjadi landasan hukum Tap MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang ajaran komunisme, leninisme, dan marxisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Peringatan 53 Tahun Supersemar bukanlah sekedar peristiwa untuk mengenang dan bernostalgia terhadap perjalanan salah satu sejarah Negara dan Bangsa Indonesia. Saat ini kita perlu mengkaji dan meaktualisasikan nilai-nilai yang diusung dalam Supersemar tersebut,” ujar Titiek.
Politikus Partai Berkarya itu mengingatkan, Bangsa Indonesia perlu memahami kepemimpinan Soekarno dan Soeharto yang ditugasi untuk menyelesaikan keruwetan pada masa itu. Kedewasaan politik dan komitmen kedua putra terbaik Indonesia itu mampu mengembalikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar kehidupan bagi bangsa Indonesia.
“Seperti kita ketahui, sebagai mandataris MPR, Pak Harto kemudian melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, walaupun masih banyak elemen bangsa yang menolak ideologi Pancasila sebagai atas tunggal. Kita bisa menyaksikan, kepemimpinan Pancasila yang digali Bung Karno dan dilaksanakan Pak Harto mampu membawa kembali kejayaan negara dan bangsa Indonesia,” ungkap Titiek.
“Kami berharap melalui seminar nasional dengan tema ‘Kepemimpinan Nasional Dalam Perspektif Pancasila’ ini bisa memberikan pemahaman praktek terbaik (best practice) pelaksanaan kepemimpinan dalam pembangunan nasional,” tuturnya.
Titiek mengatakan, kondisi kenegaraan dan kebangsaan Indonesia saat ini telah mengalami ujian luar biasa. Kontestasi politik 2019 menjadi titik strategis untuk menentukan ke mana arah pembangunan nasional pada masa lima tahun yang akan datang. Sebagai generasi pewaris bangsa, menurut dia, semua elemen bangsa tentu menghendaki negara dan bangsa Indonesia berjalan berdasarkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Dengan demikian, menjadi kewajiban kita semua untuk terus menerus, mengawal dan mengawasi jalannya pembangunan nasional untuk seluruh kepentingan rakyat, dan memanfaatkan momentum politik untuk memilih pemimpin yang mampu mengembalikan kejayaan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya. (AIJ)