Oleh: Ahmad ZR |
Hanya loyalitas tinggi terhadap negaralah yang memungkinkan seorang pemimpin untuk mewujudkan sistem politik yang rapi.
Indonesiainside.id, Jakarta — Pada 11 Maret 1966, atau 53 tahun yang silam, Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional. Mandat itu tercatat dalam berbagai literasi sejarah yang dikenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Bagi cendekiawan Yudi Latief, Supersemar adalah jembatan yang menghubungkan antara dua masa pemerintahan yang berbeda sekaligus membawa hal-hal yang masih tersisa di Orde Lama ke Orde Baru.
“Antara Soekarno dan Pak Harto saya melihat ada kesamaan pikiran. Yaitu ketika keduanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Soekarno menyusun Pancasila dan Pak Harto yang merealisasikannya,” kata Yudi Latief dalam seminar nasional bertajuk 53 Tahun Supersemar 1966, Kepemimpinan Nasional Dalam Perspektif Pancasila di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/3).
Mantan kepala Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) itu menuturkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada zaman Soekarno belum mampu diwujudkan. Pada masa itu yang ada hanya MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
“Tahun 1955, ketika pemilu pertama dilaksanakan, konstitusi juga belum mengamanatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Baru, pada zaman Pak Harto, MPR dapat terwujud yaitu setelah 1971,” ujarnya.
Meski institusi itu belum sepenuhnya sempurna, Yudi mengatakan, Soeharto mampu merealisasikan MPR pada masanya. Ketidaksempurnaan itu bukanlah alasan untuk meniadakan peran dan fungsi MPR. “Mengapa? Sebab dalam prinsip moral publik ada teori menawarkan gagasan dan juga mempertahankan rumah sendiri. Kita ingat dulu Bung Hatta mengatakan jangan sampai negara hukum menjadi negara kekuasaan akibat cara kita membakar rumah sendiri. Kita tidak bisa berubah kalau cara mengubahnya itu juga anarkistis,” tuturnya.
Menurut Yudi, dalam setiap sistem politik, tidak ada yang sempurna. Karenanya, hanya loyalitas tinggi terhadap negaralah yang memungkinkan seseorang untuk mewujudkan sistem yang rapi. “Pak Harto dan Soekarno boleh beda pandangan dan cara mengelola negara. Tetapi keduanya memiliki loyalitas pada negara dan rakyat Indonesia,” ujar Yudi.
Selama 20 tahun berjalannya reformasi, dia tidak melihat demokrasi berjalan on the track atau pada jalur yang benar. Justru, menurut Yudi, yang terjadi sebaliknya. Dia mengatakan, cara mengetahui demokrasi di Indonesia berjalan sesuai relnya atau tidak, bisa diukur dengan melihat kepemimpinan berdasarkan sila keempat dan sila kelima Pancasila.
“Kedua sila ini bagus sekali. Pengamat politik terkemuka mengatakan bahwa untuk menciptakan demokrasi yang baik yaitu dengan mewujudkan persatuan nasional yang kuat. Setelah demokrasi dijalankan, seharusnya negara semakin kuat, bukan malah mengarah kepada perpecahan nasional,” ucapnya.
Keberhasilan demokrasi dapat dilihat dari keadilan sosial yang baik. Sebab, jika kesenjangan dan disparitas terjadi sangat dalam, negara tinggal menunggu bom waktu yang akan menikam demokrasi itu sendiri.
“Jadi, Pancasila dapat digunakan untuk mengukur apakah demokrasi itu berjalan dengan baik atau tidak. Setiap sistem politik selalu mencari keseimbangan antara legitimasi dan efisiensi. Yang dimaksud legitimasi tingkat partisipasi dan tingkat kepercayaan. Sehingga, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang legitimate,” tuturnya.
Yudi berpendapat, indikasi demokrasi Indonesia mengalami penurunan bisa dilihat dari banyaknya pejabat negara yang ditangkap akibat korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, fenomena itu menunjukkan bahwa sistem politik hari ini tidak dapat meningkatkan produktivitas nasional. Padahal, demokrasi Indonesia bisa dibilang demokrasi termahal karena membutuhkan APBN yang cukup besar ketika terjadinya pergantian kepemimpinan secara nasional.
“Maka, tugas kita adalah menyatukan sistem di masing-masing zaman di atas nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya. (AIJ)