Oleh: Ahmad ZR |
Program ini diharapkan mampu membuat masyarakat transmigrasi menjadi lebih kuat dan membatasi impor pangan.
Indonesiainside.id, Jakarta — Sebagai anak kandung dari program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah sejak puluhan tahun silam, anak cucu transmigran yang bergabung dalam Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI) menyadari betul fungsi dan posisi mereka sebagai ujung tombak perubahan sosial. Karenanya, komitmen untuk menjadikan kaum transmigran sebagai pengungkit kebangkitan pembangunan nasional kini semakin mengemuka.
Salah satu warga Singkawang Kalimantan Barat, Parmin, mengusulkan kepada putri sulung Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut, agar dapat mengembangkan produksi biogas di wilayahnya. “Karena kami kan petani sapi. Jadi, alhamdulillah, kami bukan anak trans (transmigran), tetapi cucunya trans. Alhamdulillah, saya punya tujuh ekor sapi. Kami dukung langkah Ibu (Tutut). Coba dibikin di Kalimantan Barat dulu sebagai percontohan, nanti di wilayah lain,” ujar Parmin kepada Mbak Tutut dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) PATRI di Desa Wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (13/03/2019).
“Bapak sudah berapa lama transmigrasi di sana?,” tanya Mbak Tutut. “Baru Bu,” jawab Parmin singkat.
“Loh kok baru?,” tanya Mbak Tutut lagi. “Saya baru Tahun 1982 (transmigrasi ke sana) Bu. Baru hehehe,” kata pria itu berkelakar.
“Alhamdulillah kami dapat langsung bisa bertemu dengan Ibu. Insya Allah, nanti tujuh sapi kami siap untuk menjadi alat pembuatan biogas pertama,” ucap Parmin.
Dalam kesempatan itu, Mbak Tutut menyebut para transmigran sebagai pahlawan tanpa nama. Sebab, mereka berani mempertaruhkan hidup dan nasib mereka di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak pernah diketahui. Tidak kenal dengan tetangga sekitar, juga tidak menguasai teritorial tempat mereka ditransmigrasikan.
“Saya menganggap transmigran itu sebagai pahlawan. Sekarang tugas putra-putrinya untuk melanjutkan perjuangan orang tua yang secara sukarela mau bertanggung jawab untuk ditempatkan di tempat lain. Dengan datangnya transmigran, daerah itu menjadi lebih bernilai karena diolah lagi, sehingga kemajuan-kemajuan juga dapat dirasakan,” ujarnya.
Pada kesempatan sama, pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Sri Wahyuni mengatakan, pihaknya akan menyosialisasikan Program Pertanian Terpadu kepada masyarakat. Awalnya, program ini dimulai di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dan akan direplikasi di tiap provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga tingkat desa di seluruh Indonesia.
“Insya Allah ini akan segera kami sosialisasikan. Dan saya juga sudah buat Program Pertanian Terpadu berbasis smartphone (ponsel pintar). Kita berharap semua rakyat Indonesia dapat belajar Pertanian Terpadu melalui ponsel,” tuturnya.
Sri mencontohkan, hewan peternakan ayam di Hambalang sudah menghasilkan telur yang sangat banyak. Dari 170 ekor ayam yang diternakkan di sana, mampu menghasilkan 4.000 telur.
“Makanya di daerah transmigrasi nanti akan kita kembangkan Pertanian Terpadu. Di setiap desa akan memiliki spesifikasi hasil peternakan masing-masing. Misalnya ada kampung ayam, kampung sapi, kampung bebek, dan lain sebagainya,” ujar Sri.
Di depan peserta Munas PATRI, Sri juga mempresentasikan materi tentang bahan bakar pengganti gas atau minyak yang digunakan dalam kebutuhan sehari-hari. “Jadi ke depan kita tidak perlu beli minyak atau bensin. Di daerah transmigrasi pedalaman tidak perlu mencari minyak tanah lagi,” katanya.
Selanjutnya, Mbak Tutut mengatakan, biogas yang diproduksi putra putri transmigran dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga, seperti memanaskan air atau sebagai bahan bakar alternatif. Secara khusus, biogas juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pedalaman yang merasakan cuaca dingin. “Sehingga masyarakat yang di pegunungan nanti tidak kedinginan lagi ya dengan adanya biogas,” ungkapnya. (AIJ)