Oleh: Ahmad ZR |
Program transmigrasi memiliki berbagai manfaat, mulai dari meningkatkan taraf hidup masyarakat sampai menjaga kedaulatan NKRI.
Indonesiainside.id, Jakarta — Putri sulung Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, hari didapuk menjadi pembicara kunci dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI) di Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Acara tersebut mengangkat tema “Dengan Munas IV PATRI kita tingkatkan peran PATRI dalam merekatkan NKRI, pembangunan perdesaan dan transmigrasi menuju Indonesia berdaulat”.
Dalam kesempatan tersebut, perempuan yang akrab disapa Mbak Tutut itu memaparkan berbagai tujuan program transmigrasi di era Presiden Soeharto. Di antaranya meningkatkan taraf hidup, meningkatkan pembangunan daerah (luar Jawa), melaksanakan pemerataan pembangunan, dan memanfaatkan sumber daya alam dan tenaga manusia.
“Meningkatkan taraf hidup merupakan salah satu fokus beliau (Soeharto) sejak dulu. Kenapa demikian? Karena pada 1970-an itu Bapak melihat petani yang jumlahnya belasan juta itu mempunyai tanah yang sangat kecil. Tidak bisa diolah untuk meningkatkan kemakmuran dan taraf hidup mereka,” kata Mbak Tutut di TMII, Rabu (13/03/2019).
Berangkat dari kondisi tersebut, Soeharto mempunyai beberapa pemikiran. Di antaranya membentuk koperasi dan transmigrasi, mengajak masyarakat untuk menempati daerah lain yang masih bisa digarap. “Karena di Jawa ini sudah padat sekali. Sehingga tanah yang dimiliki petani sangat kecil,” ucap Mbak Tutut.
Ketika itu, kata dia, masyarakat yang mengikuti transmigrasi mendapatkan tanah yang luas di daerah lain. Setiap kepala keluarga (KK) mendapatkan sekitar dua hektare tanah dan sudah menjadi hak milik.
“Jadi, jauh sekali bedanya (dengan sekarang). Memang kendalanya banyak, tapi banyak sekali masyarakat yang mau mengikuti transmigrasi secara sukarela. Tidak pernah terpaksa dan mereka ikut berbondong-bondong transmigrasi dari Jawa,” ungkapnya
Menurut Mbak Tutut, para transmigram layak dinobatkan sebagai pahlawan tanpa nama. Sebab, mereka berani mempertaruhkan hidup dan masa depan mereka di tempat yang sama sekali sebelumnya tidak pernah diketahui. Bahkan, mereka juga awalnya sama sekali tidak kenal dengan tetangga sekitar dan tidak menguasai teritorial daerah yang menjadi tujuan transmigrasi. Bagi Mbak Tutut, keberanian para transmigran itu sungguh luar biasa sekali.
“Saya menganggap beliau itu sebagai pahlawan dan sekarang tugas putra-putri untuk melanjutkan perjuangan orang tua yang secara sukarela mau bertanggung jawab untuk ditempatkan di tempat lain. Dengan datangnya transmigran, daerah itu menjadi lebih bernilai karena diolah lagi, sehingga kemajuan-kemajuan juga dapat dirasakan,” ujarnya.
Dia menuturkan, salah satu tujuan program transmigrasi adalah memperkukuh kesatuan bangsa. Dengan begitu, berbagai suku, budaya, agama, dan golongan dapat disatukan di suatu tempat sehingga masyarakat saling mengenal keragaman Indonesia.
“Transmigrasi ini merupakan salah satu perekat. Karena apa? Dari Jawa pindah ke tempat lain, suku bangsa lain, dan itu akan menjadi tidak ada lagi perbedaan. Semuanya satu bangsa Indonesia. Tidak ada bangsa lain dan tidak ada negara lain. Semuanya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” kata Mbak Tutut.
Transmigrasi disebutnya juga memperkuat pertahanan nasional. Para transmigran di perbatasan senantiasa menjaga Ibu Pertiwi dari rongrongan negara luar yang ingin menguasai Indonesia. “Ibu mengharapkan di perbatasan, para transmigran menjadi tameng orang-orang luar yang ingin masuk ke Indonesia. Insya Allah para transmigran akan mempertahankan Indonesia dengan sebaik-baiknya dan saya yakin itu semua sudah dimiliki oleh transmigran di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Mbak Tutut mengapresiasi konsistensi para transmigran dalam mengembangkan wilayahnya masing-masing. Dia pun teringat nasihat almarhumah Ibu Tien Soeharto agar setiap masyarakat dapat mengabdi kepada bangsa dan negara walaupun dengan hal kecil.
“Jadi, potensi perubahan ini semuanya bisa kita lakukan sesuatu untuk kita karyakan. Kalau putra-putri transmigran ini ingin mengembangkan wilayah transmigran saja, banyak yang ingin dikembangkan. Tidak perlu kita mengembangkan proyek besar, cukup proyek kecil saja. Karena saya teringat dengan nasihat Ibu saya, ‘kalau kamu ingin berbuat sesuatu pada bangsa dan negara, ingin mengabdi, mengabdilah yang benar’,” ungkap Mbak Tutut.
“Mengabdi itu tidak harus yang besar-besar. Kalau kita bisa melakukan pengabdian yang kecil, maka buatlah sesuatu yang bermanfaat. Kalau kecil bisa kamu lakukan, Insya Allah yang besar juga bisa dilakukan,” ucapnya.
Dengan begitu, kata Mbak Tutut, setiap wilayah akan mewujudkan desa mandiri pangan dan energi di daerah transmigran. Dampaknya, kesenjangan nasional akan berkurang, seluruh rakyat Indonesia akan hidup dengan adil dan makmur. Pada gilirannya taraf hidup masayarakat menjadi terangkat, terlebih jika program transmigrasi dilakukan secara berkesinambungan ke daerah-daerah lain. (AIJ)