Oleh: H. Mohammad
Indonesiainside.id, Jakarta — Sampai Selasa (23/4) malam, menurut Ketua KPU Arif Budiman, sebanyak 109 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang wafat. Sementara, sebanyak 39 anggota Bawaslu juga meninggal dunia. Belum lagi yang mengalami kecelakaan dan sakit, jumlahnya lebih dari 400 orang. Ini semua tak bisa dilepaskan dari serangkaian aktifitas pelaksanaan pemilu serentak yang berlangsung 17 April lalu.
Inilah sejarah pemilu yang paling banyak memakan korban dalam sejarah pasca reformasi. Siapa yang salah? Ini semua bermula dri keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2013 tentang Pemilu serentak. Maka, dalam pelaksanaannya, Pilpres dan Pileg dijadikan satu dalam satu hari.
PIhak KPU sebenarnya sudah melakukan antisipasi. Misalnya, satu TPS yang sebelumnya berjumlah 600 pemilih, dikurangi jadi 300 orang. Jumlah TPS pun bertambah. Tetapi, dalam pelaksanaannya, yang terjadi adalah diluar perkiraan. Dalam pemilu kali ini, ada 5 kartu suara. Dari Pilpres, Pileg DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD. Selesainya pun yang biasanya jam 21.00 dalam Pemilu sebelumnya, dalam Pemilu 2019, pelaksanaannya sampai penghitungan suara, rata-rata baru selesai diatas jam 02.00 dinihari. Bahkan ada yang baru selesai ketika azan subuh berkumandang.
Atas dasar banyaknya jiwa melayang akibat pelaksanaan pemilu tahun ini, ke depan, mesti ada perbaikan. Diawali dengan perbaikan perundang-undangannya sampai tata tertib pelaksanaannya. (HMJ)
Perjuangan sesaat rakyat yg bnyk menelan korban jiwa dan bnyk yg memendam rasa kecewa. Kenapa? Karena pengorbanan mereka tak sebanding dgn honor yg mereka terima. Bertugas sampai dini hari blm lg bersiap2 melakukan kewajibannya sbg pegawai ataupun bertugas di tempat kerja dengan fisik dan pikiran yg terkuras. Semoga hal ini menjadi pelajaran bahwa dengan istilah “indonesia penyelenggara pemilu serentak pertama didunia” menurut saya tidak berhasil mengingat kejadian2 yg menimpa para KPPS.