Oleh: Ahmad ZR
Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat politik internasional, Arya Sandhiyudha, menilai ancaman keamanan nasional di dunia telah berubah drastis. Jika dulu perang dilakukan secara fisik, kata dia, kini lebih berbentuk nonfisik, salah satunya berupa perang informasi dan siber atau perang hibrida.
“Selain mengoptimalkan doktrin sistem pertahanan semesta, perlu dibangun kesadaran negara dalam meningkatkan kapabilitas teknologi pertahanan,” kata Arya di Jakarta, Senin (26/8).
Menurut dia, peningkatan kapabilitas teknologi pertahanan penting dilakukan, mengingat saat ini Indonesia menghadapi Revolusi Industri 4.0. Peningkatan itu tidak mengecualikan alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI.
“Jangan sampai kita hendak dilumpuhkan dengan kapabilitas teknologi tinggi, tapi persiapan kita masih untuk perang dengan bambu runcing,” ujarnya.
Meski perang hibrida atau perang siber masuk dalam daftar ancaman kemananan nasional teratas saat ini, dia menilai TNI tetap memiliki peran besar dalam menjaga kedaulatan Ibu Pertiwi. Yang terpenting, kata Arya, kesejahteraan prajurit saptamarga perlu diperhatikan oleh negara.
“Militer sebagai angkatan perang perlu terus ditingkatkan jumlahnya. Tapi yang juga lebih penting lagi, di zaman kini adalah kesejahteraan untuk keluarga (militer) dan mendukungnya dengan persenjataan berteknologi tinggi,” ucap Arya.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Hinsa Siburian menuturkan, ancaman dan serangan terhadap dunia siber memang meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Menurut dia, serangan siber kini telah berkembang sampai pada tahap mampu melumpuhkan sebagian atau seluruh siber nasional karena sifatnya yang mengancam jiwa manusia, kestabilan ekonomi, atau kedaulatan negara sehingga dapat membuat Indonesia mengalami krisis siber.
“Nah, negara harus hadir untuk mengantisipasi dan siap bahu-membahu bersama seluruh rakyat Indonesia menghadapi krisis siber apabila benar-benar terjadi,” kata Hinsa di Jakarta, Senin (26/8).
Menurut dia, krisis siber nasional tidak akan berhasil dikendalikan tanpa adanya protokol krisis, koordinator, SDM yang kompeten, teknologi yang tepat guna, dan political will. Tugas BSSN adalah menjadi koordinator komando utama (conductor) dalam kondisi krisis siber.
Manajemen krisis siber menjadi kunci agar proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat dan mampu menembus berbagai sekat yang ada. “Sehingga langkah menyikapi berbagai potensi ancaman maupun dampak serangan siber yang terus bermunculan dapat dilakukan dengan segera dan serempak setelah keadaan kritis siber dinyatakan berlaku,” ujarnya. (AIJ)