Oleh: Azhar AP
Indonesiainside.id, Jakarta – Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto akan memfasilitasi warga yang mengungsi ke beberapa lokasi di Papua untuk kembali ke Wamena dengan menggunakan pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara (AU). Namun, sebagian warga enggan karena masih trauma.
Panglima TNI mengatakan hal itu saat menyambangi pengungsi Wamena, seperti dikutip dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (8/10). Panglima TNI bersama Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Menkes Nila F Moeloek dan Mensos Agus Gumiwang, menyambangi pengungsi yang berada di Posko Lanud Silas Papare, Sentani Jayapura, Papua.
Pasca kerusuhan di Wamena, ribuan warga mengungsi ke beberapa lokasi di Papua, termasuk di antaranya Jayapura. Bahkan warga pendatang berbondong-bondong pulang kampung.
Saat ini, situasi Wamena mulai berangsur pulih, namun hingga Rabu pagi ini ada 152 pengungsi masih bertahan di Posko Lanud Silas Papare. Mereka menyampaikan ke Panglima TNI dan Menko Polhukam agar TNI selalu menjaga keamanan di Wamena.
Sementara itu, banyak juga pengungsi dari Wamena ditampung sementara oleh kerabat mereka di Timika. Untuk saat ini, mereka enggan kembali karena masih trauma dengan kerusuhan yang terjadi pada Senin (23/9) di Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya.
Dilansir Antara, Ani Safsafubun, salah seorang pengungsi Wamena di Timika mengatakan seluruh aset keluarganya berupa ruko tempat jualan sekaligus rumah tinggal yang terletak di Pasar Misi atau Pasar Woma sudah ludes dibakar massa perusuh.
“Ruko saya semuanya habis. Sekarang kami mau pulang ke Tual (Maluku Tenggara). Kami tidak mau kembali ke Wamena karena trauma dengan kejadian itu,” kata Ani.
Ani bersama suaminya, Chandra Letsoin bekerja sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Yahukimo. Selama ini mereka membangun usaha dan tempat tinggal di Wamena.
Saat ini Ani bersama keluarganya menunggu jadwal pelayaran kapal PT Pelni dari Timika menuju Tual. Dia mengisahkan, pada Senin (23/9) pagi saat pecah kerusuhan di Wamena, dirinya sedang berada di rumah kerabatnya yang terletak di belakang Kantor Bupati Jayawijaya.
Rumah kerabatnya itu, katanya, berdekatan dengan Lembaga Pendidikan Yapis Wamena. “Tiba-tiba datang sekelompok pelajar dari luar ke SMA Yapis memaksa siswa di sekolah itu untuk ikut demo. Para siswa ketakutan, ada yang melompat dari lantai dua. Melihat situasi itu, saya memutuskan pulang ke rumah di Pasar Misi,” tuturnya.
Menurut dia, kerusuhan disertai aksi bakar-bakaran kantor pemerintah, swasta maupun rumah-rumah warga terjadi secara bersamaan. Kompleks perumahan guru-guru bahkan gedung sekolah SMP Katolik Santo Thomas Wamena yang berada di dekat Pasar Misi menjadi sasaran amukan kelompok perusuh yang ditengarai bukan penduduk asli Wamena. Penduduk asli Wamena biasa disebut orang Lembah Baliem.
Ani bersama keluarganya dan tetangga sekitar memutuskan mengungsi ke Kantor Dekenat Wamena. Beberapa saat setelah itu, massa perusuh membakar ludes Pasar Misi Wamena setelah terlebih dahulu membakar Kantor Bupati Jayawijaya dan fasilitas umum lainnya.
Massa perusuh sempat masuk ke Kantor Dekenat Wamena dengan menjebol pagar depan yang dikunci rapat. Sebagian memanjat pagar tembok dari arah belakang.
Melihat itu, ibu-ibu yang mengungsi ke Kantor Dekenat Wamena meminta Pastor Dekan untuk mengenakan jubah pastor agar para perusuh tidak melakukan aksi anarki di tempat itu.
Tak lama kemudian aparat TNI dan Polri tiba di Kantor Dekenat Wamena lalu mengevakuasi warga tersebut ke Markas Kodim Jayawijaya. “Kami satu minggu mengungsi di Kodim Jayawijaya lalu berangkat ke Jayapura menggunakan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara. Setelah satu minggu di Jayapura, kami berangkat lagi ke Timika menggunakan pesawat komersial, tiket penerbangannya ditanggung oleh keluaga besar masyarakat Kei di Jayapura,” kata Ani.
Pengungsi lainnya, Paula Foza Hukunala juga mengaku masih trauma dengan kerusuhan yang terjadi di Wamena. “Kalau ingat kejadian itu, saya tidak mau kembali lagi ke Wamena. Kami keluar dari rumah hanya dengan pakaian di badan saja. Anak saya yang paling kecil sampai kencing di celana,” kata Paula yang mengaku tinggal di Jalan Bhayangkara Wamena itu.
Paula mengaku baru bisa mengganti pakaiannya saat tiba di posko pengungsian di Jayapura. Kini Paula bersama seorang putrinya yang masih kecil dan 14 orang pengungsi asal Kepulauan Kei, Maluku Tenggara masih menantikan jadwal kapal yang akan mengangkut mereka dari Pelabuhan Pomako Timika menuju Tual.
“Suami saya masih di Wamena, mereka tidak bisa turun ke Timika karena aparat minta supaya laki-laki tetap tinggal di Wamena, perempuan saja yang diizinkan keluar dari Wamena,” ujarnya. (Aza/Ant)