Oleh: Andryanto S
Indonesiainside.id, Jakarta – Tanggal 15 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Hak Azasi Binatang dengan adanya deklarasi universal kesejahteraan binatang yang didukung 46 negara serta 330 kelompok pendukung binatang. Hari itu diperingati untuk mengingatkan bahwa binatang memiliki hak azasi yang terdiri atas lima kebebasan, yakni bebas rasa haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas mengekspresikan tingkat laku alami, bebas dari stres dan takut, serta bebas dari dilukai dan sakit.
Hari Hak Azasi Binatang bertujuan untuk mengingatkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terkait perburuan liar serta kekejaman terhadap binatang. Sebab, binatang baik di penakaran maupun liar belum memperoleh perlakuan yang layak, bahkan kerap menjadi objek kekejaman manusia.
Padahal di Indonesia sendiri, sejumlah regulasi dibuat untuk melindungi binatang. Seperti Pasal 302 KUHP Tentang Perlindungan Hewan, Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan beberapa lainnya.
Emil Salim, seorang mantan menteri di era Orde Baru, punya kisah inspiratif terkait perlakuan penguasa terhadap binatang. Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan. Emil Salim menuliskan kisah itu dalam buku “Pak Harto The Untold Stories” terbitan Gramedia, tahun 2012 silam.
Dalam buku itu Emil Salim mengatakan, peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam. Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari Palembang.
Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang “mengamuk”. Kawanan gajah tersebut merusak kebun-kebun dari sebuah desa transmigrasi yang baru saja didirikan. Mendapatkan laporan itu, Emil lantas mempelajarinya.
Ternyata gaja-gajah yang hidup di hutan pedalaman Sumatera itu memang memiliki ritual, yaitu pergi ke laut setahun sekali untuk memperoleh garam. Jalan yang harus mereka lalui selalu sama.
Sayangnya, jalan tersebut belakangan digunakan untuk membuat kebun, dan hal itu tidak diketahui oleh Dinas Transmigrasi saat itu. Penduduk yang ketakutan itu kemudian meminta bantuan para tentara.
Emil Salim segera melaporkan peristiwa itu kepada Soeharto, Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Try Sutrisno. Soeharto pun segera melarang para tentara menembaki gajah-gajah tersebut.
Soeharto meminta para anggota TNI agar menggiring gajah masuk hutan lagi melalui jalan lain yang tak melintasi desa. “Agar hewan-hewan itu menurut dan tidak beringas, Soeharto menyarankan digunakannya perangkat bunyi-bunyian seperti terompet, kayu yang dipukul-pukul, kentongan dan sebagainya untuk menggiring gajah,” tulis Emil Salim dalam buku itu.
Mendapatkan perintah dari Soeharto, para anggota TNI pun segera melaksanakannya. Gajah-gajah itu berjalan dalam formasi.
Gajah-gajah betina berjalan di depan dan di belakang, anak-anak gajah berjalan terlindung di tengah-tengah rombongan. “Gajah-gajah jantan dewasa berjalan mondar-mandir ke depan dan ke belakang untuk mengawal seluruh rombongan mereka,” lanjut Emil Salim.
Usaha mereka ternyata membuahkan hasil. Gaja-gajah itu bisa kembali hutan. Saat gajah-gajah itu mendekati habitatnya, para anggota TNI yang mengawalnya sampai menitikkan air matanya.
Soeharto pun tampak senang mendapatkan kabar itu. Soeharto lalu mengundang para tentara tersebut ke Bina Graha. “Pak Harto menyalami mereka satu persatu, termasuk yang pangkatnya terendah sekali pun, mengucapkan langsung terima kasihnya untuk tugas yang tak biasa itu,” tandas Emil Salim. (*/Dry)