Indonesiainside.id, Jakarta – Larangan bagi wanita muslimah mengenakan cadar menuai kontroversi. Semua pihak memandang cadar tidak wajib, karena memang demikian dalam Islam.
Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga berpandangan bahwa cadar tidak wajib sehingga tidak perlu menjadi polemik di masyarakat muslim. Kalau pun harus dilepas sebagai salah satu syarat bagi pegawai negeri sipil (PNS), tentu pegawai punya kode etik untuk mematuhi aturan yang berlaku di sebuah instansi.
Namun, dia menekankan bahwa cadar juga jangan distigma negatif. Apalagi dikaitkan dengan tindakan radikalisme sebagaimana yang menjadi rujukan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi terkait penyerangan Wiranto.
Menurut dia, orang yang bercadar dan berpenampilan tertutup tak bisa diasosiasikan dengan paham radikal. “Hal ini adalah penilaian yang dangkal dan berlebihan,” kata Mu’ti di Jakarta, Kamis, (31/10).
Dia mengatakan, Muhammadiyah berpendapat bahwa bercadar tidak wajib. Soal wacana pelarangan cadar oleh Menag Fachrul Razi, dia menilai sebagai upaya melakukan pembinaan ASN dan relasi sosial antaraparatur.
Di sisi lain, Abdul melihat harusnya pegawai negeri patuh dengan penyeragaman ini. Karena menyangkut kode etik yang ditetapkan pemerintah terhadap para pegawainya.
“Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan kebudayaan bangsa Indonesia,” kata dia.
Lebih lanjut dia juga melihat tak semua ulama mengharamkan perempuan yang menunjukkan wajah. Mengingat mayoritas alim ulama memperbolehkan perempuan menampakkan muka dan telapak tangan. (Aza)