Indonesiainside.id, Jakarta – Pengasuh Kajian An Nahla Ustaz Jeje Zaenudin membeberkan kisah yang diriwayatkan Imam Bukhary bahwa Muadz bin Jabal adalah seorang sahabat Nabi yang sering melakukan shalat Isya dua kali dalam satu malam. Satu kali Muadz shalat Isya berjamaah bersama di Masjid Nabawy sebagai makmum Nabi.
Satu kali lagi, dia shalat Isya di masjid kampung sekaligus menjadi imam bagi penduduk. Sampai suatu malam Muadz datang terlambat dari Masjid Nabawy karena Nabi SAW mengakhirkan shalat Isyanya dan membaca bacaan surat yang panjang.
Kemudian Muadz bin Jabal mulai mengimami kaumnya shalat Isya lalu membaca surat Al Baqarah. Salah seorang dari jamaahnya mundur lalu shalat Isya sendirian di belakang shaf.
Setelah selesai shalat para makmum memberi tahu Muadz. Maka Muadz marah dan mengatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari berjamaah adalah munafik.
Pagi harinya orang tersebut mengadu kepada Nabi bahwa ia dituduh munafik karena memisahkan shalat dari Muadz disebabkan ia tidak kuat mengikuti shalat bersama Muadz yang sangat panjang bacaannya dan sudah larut malam. Rasulullah pun menyuruh memanggil Muadz.
Saat Muadz tiba, Rasulullah menegurnya dengan keras dan nada yang masih marah. Sehingga Muadz mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Nabi semurka itu sejak ia memeluk Islam.
Nabi berkata, “Apakah kamu pembuat fitnah, wahai Muadz (a fattânun anta ya mu’adz)?” beliau mengulang-ulang perkataan itu tiga kali. Sementara Mua’adz hanya tertunduk menyesal.
Kemudian Nabi melanjutkan, “Jika kamu mengimamami manusia, hendaklah kamu ringankan bacaanmu karena di antara makmum itu ada orang sakit, orang lemah atau yang sedang ada keperluan. Bacalah oleh kamu surat Asy Syamsu atau Sabbihis…!”.
“Pelajaran penting dari riwayat sahih di atas, bahwa melaksanakan yang sunnah sekali pun jika menimbulkan suatu keberatan apalagi menyulitkan orang lain dapat berakibat jadi fitnah pada agama,” ujar Jeje kepada Indonesiainside.id, Jumat (1/11).
Dalam banyak kasus, Nabi SAW menangguhkan bahkan membatalkan suatu amalan yang sunnah dan utama karena melihat adanya kesulitan yang bisa muncul ditengah umat. Sebagaimana beliau bersabda, “sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, aku akan suruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu”.
Demikian juga sabdanya, “kalaulah bukan karena kaumku baru memeluk Islam, aku ingin merubah bangunan Ka’bah itu!”. Kembali ke isu pelarangan cadar, mencermati fenomena belakangan ini, cadar telah menjadi salah satu isu yang menjadi fitnah.
Bagi sekelompok ekstrimis dan teroris, cadar telah dieksploitasi dari sekedar amalan mustahab menjadi sebagai syiar utama dan identitas mazhab mereka. Bahkan menjadi modus penyamaran dalam melakukan bom bunuh diri yang dikecam oleh syariat Islam. Sebaliknya bagi kaum leberalis dan islamphobia, isu cadar menjadi senjata untuk menyerang gerakan Islam.
“Bahwa semakin Islam diamalkan semakin sempit ruang gerak dan hak-hak kaum wanita dan semakin terbuka perilaku diskriminatif yang berdasar gender,” katanya.
Menyikapi situasi fitnah seperti ini, kata Jeje, juga perlu sikap bijak seperti Nabi SAW. Umat Islam tentu menolak dan menentang pelarangan pemakaian cadar secara sepihak dan sewenang-wenang. Meskipun menurut mayoritas ulama itu tidak wajib dan bukan sunnah muakkadah, tetapi pelarangan secara sewenang-wenang bertentangan dengan hak dan kemerdekaan individu dalam mengamalkan keyakinannya yang dijamin oleh konstitusi Negara.
“Namun kita juga dapat memahami jika dalam kondisi, situasi, ruang dan tempat tertentu ada pelarangan pemakaian cadar dengan alasan yang jelas dan objektif jika terkait dengan adanya potensi ketidakamanan dan peluang kejahatan, seperti adanya kejadian penyamaran oleh sekelompok waria yang tak bermoral berpura-pura sebagai wanita yang bercadar,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum PP Persis ini menyatakan, bukankah Nabi SAW sendiri dalam kondisi tertentu melarang pemakaian cadar? Seperti pada saat menunaikan umrah dan haji, umpamanya, kaum wanita dilarang mengenakan cadar.
Dalam kondisi kerumunan massa yang begitu besar di mana peluang tersesat dan salah mengikuti rombongan sangat bisa terjadi, maka menampakkan wajah memudahkan berkomunikasi dan mengenali antara yang satu dengan yang lainnya.
“Lagi pula kekhawatiran terjadinya fitnah syahwat yang mendorong perbuatan mesum dalam keramaian seperti itu dapat tertekan dengan sendirinya,” katanya.
Sehingga, Jeje mengatakan alangkah bijaknya jika pemerintah sebagai pelayan umat yang bertanggug jawab menjamin dan menciptakan keamanan, kenyamanan, dan kerukunan warga mengomunikasikan rencana pengaturan pemakaian cadar itu. Jika memang ada, dengan tokoh-tokoh umat sebagaimana juga seharusnya sebelum mengambil setiap kebijakan yang berimplikasi kegaduhan.
“Demikian juga kelompk-kelompok kaum muslimin tidaklah elok jika sebuah isu yang baru wacana yang terkait sesuatu yang bukan bagian prinsipil dari ajaran Islam direspons dengan kekhawatiran yang berlebihan,” kata dia.
Sehingga menyikapi sebuah kebijakan yang masih terbilang wajar dan bisa didialogkan dengan tuduhan sebagai produk islamophobia. Umat Islam patut rendah hati sebagaimana Nabi yang rela menangguhkan dan tidak memaksakan kehendak beliau tetang suatu amalan yang afdhal karena mempertimbangkan umatnya yang belum siap.
“Regulasi tentang cadar, sejauh sebagai upaya pembatasan penggunaannya terkait situasi dan kondisi tertentu demi antisipasi keamanan dan menghindari penyusupan dan penyamaran kejahatan terorisme yang lebih besar bahayanya dari sekedar melepas cadar, secara fikih bukan hanya masih sangat memungkinkan melainkan perlu diberlakukan,” tutur Jeje.
Namun, jika didorong misi dan motivasi menjadikan isu ini sebagai komoditas politik stigmatisasi kelompok Islam tertentu, tentu bukan hanya pelanggaran HAM. “Tapi penistaan pada nilai-nilai kebebasan kehidupan beragama yang harus ditolak,” ujar Jeje. (Aza)