Indonesiainside.id, Jakarta – Pengasuh Kajian An Nahla Ustaz Jeje Zaenudin, memberikan lima catatan kritis terkait polemik. Intinya, cadar bukan sebuah kewajiban, karenanya tidak bisa dipaksakan.
Persis memberika catatan penting agar masalah ini tidak berlarut-larut. Pertama, secara hukum fikih, tidak ada seorang ulama pun yang menghukumkan bahwa bercadar dalam pengertian menutup seluruh wajah wanita secara total maupun menyisakan kedua matanya, sebagai perbuatan syariat yang wajib. Perdebatan para pakar berkisar seputar sunnah, mustahab (terpuji), mubah, atau bahkan hanya tradisi sebagian masyarakat.
“Jadi seandainya seorang muslimah tidak memakainya tidak boleh dinilai sebagai meninggalkan syariat yang menyebabkan ia tercela apalagi berdosa,” kata Wakil Ketua Umum PP Persis ini, Jumat (1/11).
Kedua, secara sosiologis, penggunaan cadar di lingkungan masyarakat tertentu telah menimbulkan kekakuan bahkan kegaduhan karena terlalu jauhnya jarak perbedaan antar budaya pengguna dengan tradisi masyarakat setempat. Sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan berlebihan bahkan kekhawatiran terjadinya clash budaya.
“Ketiga, secara psikologis cadar sedikit banyaknya menghambat keterbukaan komunikasi,” katanya.
Terutama ketika dialog langsung yang membutuhkan tatap muka dan eskpresi wajah serta mulut dibutuhkan dalam interaksi dan komunikasi. Seperti dalam pergaulan sosial yang membutuhkan saling mengenali wajah diantara mereka, atau seperti seorang guru wanita ketika mengajar di dalam kelas di hadapan anak-anak didiknya.
Keempat, dalam pelaksanaannya, pemakaian cadar pada sebagian kelompok juga terkesan dipaksakan bukan lagi sebagai sebuah kesadaran lebih berhati-hati dalam menjaga aurat demi menghindari terjadinya fitnah syahwat pandangan karena paras wanita yang dapat menggoda.
“Tetapi telah berubah menjadi semacam identitas kelompok ciri kefanatikan atas suatu mazhab,” ujarnya.
Sebagai faktanya, banyak anak-anak dan gadis kecil yang belum baligh, bahkan terkadang masih balita yang dipaksakan harus mengenakan cadar dengan alasan pembiasaan. Pada sisi lain, seorang guru muslimah juga mengenakan cadar saat berinteraksi dengan sesama wanita ataupun dengan anak-anak sekolah yang masih di bawah umur dewasa.
“Padahal terang benderang bahwa cadar dianjurkan menurut yang berfaham sebagai keutamaan, hanyalah sebagai kehati-hatian dari pandangan laki-laki dewasa yang bukan mahramnya,” ujarnya.
Maka, pemakaian di hadapan sesama wanita dan dihadapan mahram atau dihadapan anak-anak didik yang belum baligh menjadi sesuatu pengamalan yang tanpa makna secara syariat. Melainkan sesuatu yang dilakukan secara berlebihan atau ghuluw yang tidak disukai oleh agama Islam.
Kelima, secara politik dan keamanan telah terbukti bahwa pada masa-masa belakangan mayoritas kaum teroris dan ekstrimis menggunakan cadar bagi kaum perempuan sebagai syiar kelompok mereka. Sehingga berdampak fitnah bagi kaum wanita yang baik-baik dicurigai sebagai bagian atau paling tidak ada irisan ideologis dengan kaum ektrimis-teroris.
“Karena kejadian bom bunuh diri yang dilakukan kaum teroris dimana para kaum wanitanya mengenakan cadar bahkan terkadang teroris itu sendiri yang menyamar sebagai wanita yang bercadar, maka di beberpa negara dikeluarkan larangan bercadar,” katanya. (Aza)