Indonesiainside.id, Jakarta – Pelarangan penggunaan cadar bagi muslimah bukan hal yang baru. Di banyak negara yang berpenduduk mayoritas non-muslim sudah melakukan hal itu.
Pengasuh Kajian An Nahla Ustaz Jeje Zaenudin menyebutkan, sudah ada 11 negara yang mengeluarkan larangan bercadar bagi kaum wanita dengan alasan politik dan keamanan. Nah, apakah Indonesia akan menjadi negara ke-12 yang ikut melarang cadar secara resmi?
Negara yang paling pertama melarang cadar adalah Perancis. Perancis pertama kali mengeluarkan larangan keras penggunaan cadar di tempat publik yaitu pada April 2011.
Alasannya, sama dengan yang dikemukakan oleh Menteri Agama Fachrul Razi yaitu alasan keamanan. Larangan itu diikuti dengan ancaman denda 150 Euro atau setara 2.4 juta Rupiah hingga 30.000 Euro atau setara Rp480 juta bagi yang memaksa orang lain harus bercadar.
“Negara Chad yang mayoritas muslim, umpamanya, pada bulan Juni tahun 2015 telah mengeluarkan larangan keras kaum wanita menggunakan cadar selang dua hari setelah terjadinya bom bunuh diri yang diduga keras dilakukan oleh kelompok ekstremis Boko Haram yang menelan korban 20 orang tewas mengenaskan,” kata Wakil Ketua Umum PP Persis ini, Jumat (1/11).
Kemudian, Denmark mulai bulan Agustus 2018 mengeluarkan larangan keras penggunaan cadar di negaranya dengan alasan yang sama, yaitu demi keamanan. Denda dibebankan kepada mereka yang memaksa memakai cadar sebesar 1000 kroner hingga 10.000 kroner atau setara Rp2 juta hingga Rp20 juta.
Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Aljazair yang melarang penggunaan cadar mulai 18 Oktober 2018 dengan alasan meningkatnya kerawanan gangguan keamanan oleh kalangan teroris.
“Selain yang disebutkan diatas ada Spanyol, Belanda, Belgia, Italy, Kamerun, Negaria, Congo, dan Switzerland,” katanya.
Lantas, ia memberikan lima catatan kritis terkait polemik cadar yang akhir-akhir ini kian mencuat. Pertama, secara hukum fikih, tidak ada seorang ulama pun yang menghukumkan bahwa bercadar dalam pengertian menutup seluruh wajah wanita secara total maupun menyisakan kedua matanya, sebagai perbuatan syariat yang wajib.
Perdebatan para pakar berkisar seputar sunnah, mustahab (terpuji), mubah, atau bahkan hanya tradisi sebagian masyarakat.
“Jadi seandainya seorang muslimah tidak memakainya tidak boleh dinilai sebagai meninggalkan syariat yang menyebabkan ia tercela apalagi berdosa,” kata dia.
Kedua, secara sosiologis, penggunaan cadar di lingkungan masyarakat tertentu telah menimbulkan kekakuan bahkan kegaduhan karena terlalu jauhnya jarak perbedaan antarbudaya pengguna dengan tradisi masyarakat setempat. Sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan berlebihan bahkan kekhawatiran terjadinya clash budaya.
“Ketiga, secara psikologis cadar sedikit banyaknya menghambat keterbukaan komunikasi,” katanya.
Terutama ketika dialog langsung yang membutuhkan tatap muka dan eskpresi wajah serta mulut dibutuhkan dalam interaksi dan komunikasi. Seperti dalam pergaulan sosial yang membutuhkan saling mengenali wajah diantara mereka, atau seperti seorang guru wanita ketika mengajar di dalam kelas di hadapan anak-anak didiknya.
Keempat, dalam pelaksanaannya pemakaian cadar pada sebagian kelompok juga terkesan dipaksakan, bukan lagi sebagai sebuah kesadaran. Cadar kadang digunakan bukan karena lebih berhati-hati dalam menjaga aurat demi menghindari terjadinya fitnah syahwat pandangan karena paras wanita yang dapat menggoda.
“Tetapi telah berubah menjadi semacam identitas kelompok ciri kefanatikan atas suatu mazhab,” ujarnya.
Sebagai faktanya, banyak anak-anak dan gadis kecil yang belum balig, bahkan terkadang masih balita yang dipaksakan harus mengenakan cadar dengan alasan pembiasaan. Pada sisi lain, seorang guru muslimah juga mengenakan cadar saat berinteraksi dengan sesama wanita atau dengan anak-anak sekolah yang masih di bawah umur dewasa.
“Padahal terang benderang bahwa cadar dianjurkan menurut yang berfaham sebagai keutamaan, hanyalah sebagai kehati-hatian dari pandangan laki-laki dewasa yang bukan mahramnya,” ujarnya.
Maka, pemakaian di hadapan sesama wanita dan dihadapan mahram atau dihadapan anak-anak didik yang belum balig menjadi sesuatu pengamalan yang tanpa makna secara syariat.
“Melainkan sesuatu yang dilakukan secara berlebihan atau ghuluw yang tidak disukai oleh agama Islam,” katanya.
Kelima, secara politik dan keamanan telah terbukti bahwa pada masa-masa belakangan mayoritas kaum teroris dan ekstremis menggunakan cadar bagi kaum perempuan sebagai syiar kelompok mereka. Sehingga berdampak fitnah bagi kaum wanita yang baik-baik dicurigai sebagai bagian atau paling tidak ada irisan ideologis dengan kaum ektrimis-teroris.
“Karena kejadian bom bunuh diri yang dilakukan kaum teroris di mana para kaum wanitanya mengenakan cadar bahkan terkadang teroris itu sendiri yang menyamar sebagai wanita yang bercadar, maka di beberapa negara dikeluarkan larangan bercadar,” katanya. (Aza)