Indonesiainside.id, Jakarta – Presiden Jokowi mewacanakan untuk mengganti diksi radikalisme dengan istilah manipulator agama. Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha sepakat dengan wacana tersebut jika memang pemerintah serius memerangi radikalisme dan menjaga Pancasila.
“Tapi, konsistensi kita sendiri dalam melawan radikalisme dasarnya mesti keseriusan dan kepandaian,” kata Arya di Jakarta, Sabtu (2/11).
Pemerintah diminta benar-benar fokus menghadapi radikalisme sebagai kenyataan politik, bukan komoditas politik. Sebab kalau salah, justru bisa back fire terhadap Pemerintah dan menciptakan ill-feel di masyarakat.
“Itu terkesan menyiptakan ketakutan terhadap lawan yang dibesarkan sendiri secara majinasi,” ujar Arya.
Master bidang Studi Strategis dari Rajaratnam School of International Studies RSIS Nanyang Technological University NTU, ini menyatakan radikalisme itu beragam. Bukan hanya radikalisme keyakinan keagamaan, tapi juga banyak tipe lain berbasis motifnya.
“Radikalis kanan di US misalnya itu identik oposisi atau kontra terhadap sosialis, komunis, marxis, anarkis, demsos (demokrasi sosial), progresif, dan liberalis,” katanya.
Sementara, ada radikalis kanan yang awalnya di Eropa, dikenal dengan ciri ekstrimis nasionalis, nativis ideologis, dan cenderung pada pendekatan otoritarian. Secara praktik mereka mengambil bentuk sebagai fasis, Nazi, ultranationalis, chauvinis, xenophobik serba anti pendatang, rasis, dan lain-lain.
“Apabila demikian yang dibayangkan tentang Radikalisme, jadi lebih utuh sebagai kenyataan politik dan kelihatan serius jaga Pancasila untuk menjaga keseimbangan fakta keragaman spektrum kita,” ujar Arya.
“Jangan dipersempit dengan imajinasi tunggal manipulator agama saja. Itu komoditas politik namanya,” katanya. (Aza)