Indonesiainside.id, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menerbitkan peraturan menteri No. 17 Tahun 2019 mengenai pedoman perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme. Namun, aturan tersebut dinilai belum menjangkau perlindungan anak dari pelaku yang mengalami trauma atas tindakan aparat penegak hukum.
“Proses penangkapan terhadap terduga terorisme seringkali mengabaikan dimensi perlindungan anak, hal ini terlihat dari cara-cara densus 88 yang kerap menangkap terduga teroris dengan kekerasan bahkan dilakukan didepan anak dibawah umur” kata anggota Komisi VIII, Bukhori, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (14/11).
Bukhori mengatakan, pola reviktimisasi semacam itu hanya akan memunculkan dendam anak terhadap aparat maupun pemerintah. Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena anak adalah aset bangsa.
Politikus PKS itu lalu menjelaskan penemuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada akhir tahun 2018. Kasus pelanggaran hak anak pada 2018 mencapai 4.885 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2017 yang mencapai 4.579 kasus.
“Dari jumlah itu kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus” ucap Bukhori.
Dia mengatakan, revisi Undang-Undang Perlindungan Anak harus mendapat prioritas komisi VIII. Ini karena Indonesia mengalami darurat perlindungan anak, angka ABH masih cukup tinggi, ditambah lagi anak yang menjadi korban dari proses penegakan hukum.
Selanjutnya, dia meminta KemenPPPA dibawah pimpinan I Gusti Ayu Bintang Darmawati untuk memiliki program yang memuliakan perempuan dan perlindungan anak. Ini karena jika perempuan dimuliakan niscaya keluarga akan harmoni.
“Jika keluarga harmoni maka NKRI akan terjaga karena benteng terahir bagi negara adalah keutuhan keluarga” ucap Bukhori. (EP)