Indonesiainside.id, Jakarta – Reuni 212 sudah makin mendekat. Para alumni 212 merindukan kehadiran Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam acara yang kini menjadi tradisi gelaran setahun sekali itu. Tetapi, sampai saat ini, HRS belum bisa meniggalkan Saudi Arabia dengan alasan “keamanan”.
Menurut Direktur HRS Center, Abdul Chair Ramadhan, pencegahan terhadap HRS keluar dari Saudi Arabia oleh otoritas Kerajaan Saudi Arabia (KSA) tidaklah berdiri sendiri. “Tetapi berpasangan dengan kepentingan politik Pilpres 2019 yang lalu,” katanya. Pencegahan tersebut, menurut Ramadhan, adalah persengkokolan (konspirasi) pihak-pihak tertentu dan dengannya mampu mempengaruhi terbitnya larangan keluar oleh pihak intelijen KSA.
Ramadhan lalu merujuk pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 27 ayat (2) UU HAM yang menyatakan bahwa “Setiap Warga Negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia”. Tetapi, menurut Ramadhan, negara telah melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk sengaja melakukan (commission) maupun sengaja membiarkan (omission) terhadap Hak-Hak Sipil HRS, yakni meninggalkan dan kembali ke wilayah Negara Kesatuan RI (Pasal 9 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis).
Dalam pandangan Ramadhan, HRS adalah korban diskriminasi dengan adanya pembatasan atau pengucilan baik secara langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia. Salah satunya, atas dasar “keyakinan politik” yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan HAM. (Pasal 1 angka 3 UU HAM).
Oleh sebab itu, menurut Ramadhan, HRS tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Negara harus bertanggungjawab, sebab Negara adalah “pemangku kewajiban dan tanggungjawab” pemenuhan Hak Asasi Warga Negara. Sebagai Warga Negara, HRS adalah “pemegang hak”. “Oleh karenanya, beban kewajiban penyelesaian pencegahan tersebut bukan pada HRS,melainkan ada pada Negara,” simpul Ramadhan. (HMJ)