Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi mengatakan, secara teknis perlu dibedakan antara dai harus bersertifikat dengan sertifikasi dai. Menurut dia, banyak orang salah paham mengenai sertifikasi dai.
“Kalau sertifikasi itu orang mau mengendarai kendaraan harus punya SIM atau orang yang mau jadi guru harus memiliki sertifikat. Kalau ini bukan keharusan dai bersertifikat,” kata Masduki saat ditemui di kantor MUI, Jakarta, Senin (25/11).
“Jadi orang bisa memilih ikut dai yang bersertifikat itu, lalu kemudian orang bisa memilih untuk tidak ikut. Apalah arti sebuah sertifikat itu hanyalah kertas,” sambungnya.
Masduki mengatakan, para dai ini nantinya akan menjadi mitra pemerintah dalam menyampaikan tausiyah. Termasuk dai yang dapat khutbah di lingkungan instansi pemerintah adalah mereka yang mengikuti program standarisasi dai MUI.
“Catatannya, yang ikut (program) ini akan menjadi bagian dari kerja sama dengan pemerintah. Nanti pemerintah membuat satu kebijakan, dimana dai yang akan melakukan dakwah khutbah di masjid pemerintahan itu dai-dai yang bersertifikat,” katanya.
Namun, ia mengatakan ketentuan ini hanya berlaku di instansi pemerintah. Ia berharap dengan begitu umat akan memilih dai sertifikat secara perlahan.
“Karena narasi yang dibangun oleh dai bersertifikat itu narasi yang menggambarkan Islam sebagai agama yang menghargai perbedaan,” ucapnya.
Terpenting, jelas Masduki, para dai harus memahami materi yang disampaikan oleh pengurus dan pimpinan MUI Pusat dengan baik. Ini penting dilaksanakan oleh MUI sebagai khadimul ummah (pelayan umat).
“Jadi, tidak ada istilah pembatasan. Karena ini pilihan, jadi yang nggak ikut silakan terus melakukan dakwah,” ujar dia. (Aza)