Indonesiainside.id, Jakarta — Direktur Lingkar Wajah Kemanusiaan (LAWAN Institute), Muhammad Mualimin, menilai sertifikasi dai mengancam kebebasan berpendapat. Program ini juga dipandang sarat kepentingan politik.
‘’Selain mengancam perbedaan tafsir dalam agama, sertifikasi dai juga membatasi kebebasan berpendapat. Sejak kapan MUI punya otoritas menilai pendakwah paham Islam atau tidak?,’’ kata Mualimin di Jakarta, Selasa (26/11).
Dia menyatakan, kekhawatiran pemerintah atas maraknya penceramah radikal dan penebar kebencian memang patut dipahami. Namun memberikan lampu hijau MUI untuk mensertifikasi Dai dan Pendakwah adalah cara yang tidak tepat.
Sebab MUI bukan lembaga negara. Di sisi lain, kata dia, tenarnya ustadz milenial di media sosial tidak boleh secara serampangan dicap sebagai pengkotbah tak paham agama dan berkualitas rendahan.
‘’MUI tak boleh berlagak seperti badan pemerintah. Dan kalau ada ustadz populer di sosial media, apa salahnya? Di pesantren atau internet, tidak masalah,” tegasnya.
Mualimin menjealskan, ketika seseorang berbicara dilihat dari kualitas yang disampaikannya, bukan media komunikasi. Ulama berhak beradaptasi dengan teknologi digital.
“Memang ceramah sudah jadi profesi. Jadi, ini persaingan gaya dan tampilan. Siapa bisa menggunakan teknologi kekinian untuk berdakwah, dia menguasai narasi agama dan mengendalikan gairah keagamaan umat yang sedang menyala-nyala’’ tambah Aktivis HMI ini. (*/Dry)