Indonesiainside.id, Jakarta – Tarif pajak hiburan yang ditetapkan sebanyak 35 persen, dinilai berdampak negatif bagi ekosistem perfilman. Tarif tersebut menciptakan ketidakpastian berusaha, menghambat pertumbuhan bioskop dan akses masyarakat terhadap hiburan, terutama film serta mengganggu dinamika pertumbuhan ekonomi daerah khususnya pertumbuhan sektor-sektor yang terkait dengan bioskop.
Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Endah Wahyu Sulistianti menjelaskan, sejak tahun lalu pihaknya telah mengadakan penelitian bersama LIPI untuk melakukan kajian terkait intensif fiskal.
“Yang harus dilakukan oleh pemerintah itu adalah beberapa hal salah satunya kebijakan endoprufan khusus untuk perfilman yang dananya diambil dari APBN dan sumber dana dana lain,” ujar Endah saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/11). Menurutnya, dengan metode tersebut, model bisnis industri perfilman bisa mengikuti banck mark yang diajukan. “Ngambil dana-nya dari APBN, dana CSR, pungutan pajak
Kemauan dari pelaku perfilman itu pajak yang yang diambil dari mereka di kembalikan lagi ke mereka,” jelas Endah.
Menurutnya, cara tesebut merupakan hal yang wajar. Karena di negara lain juga sumber dana dari endomurfan itu diambil dari pajak yang dipungut dari para pelaku industri film itu sendiri.
“Dan itu dari skala daerah sudah dilakukan oleh pemda dki sejak jaman Fauzi Bowo. Pajak pungutan yang diambil dari perfilman, dikembalikan lagi ke mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Endah menegaskan jika tarif pajak tontonan film perlu mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam objek pajak hiburan, karena film merupakan bagian dari strategi pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, film juga mampu menciptakan multiplier effect, mendorong pariwisata, menstimulus kreatifitas, dan lain-lain. (PS)