Indonesiainside.id, Jakarta – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadiem Makarim, menghadiri undangan rapat kerja Komisi Pendidikan DPR untuk membahas penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2021 mendatang. Rapat yang dipimpin ketua Komisi X, Syaiful Huda, hendak mempertanyakan detil dan kesiapan mantan pendiri Gojek itu dalam menerapkan gagasan tersebut.
“Saya siap berdebat dengan siapapun,” kata Nadiem disela-sela pemaparannya kepada anggota Komisi X, Jakarta, Kamis (12/12).
Nadiem menjelaskan, kenyataannya dinas pendidikan hanya mengumpulkan soal-soal UN lalu didistribusikan ke setiap sekolah. Dengan demikian, sekolah tidak bisa melaksanakan haknya untuk melakukan penilaian secara independen. Kedaulatan sekolah tidak terjadi karena ada ujian sekolah berstandar nasional.
Menurut dia, dengan menghapus UN, maka seluruh guru dipaksa berfikir tata cara mengubah kompetensi yang sudah ditetapkan menjadi soal yang bisa ia nilai. Kondisi ini akan meningkatkan tanggung jawab dan ownership para guru.
Tak hanya itu, di sisi lain bagi para siswa, keberadaan UN yang dijadikan tolak ukur kelulusan menjadi momok tersendiri. “Ini fakta yang tidak bisa kita ingkari,” kata dia. Ini karena siswa dipaksa menghafal bukan memahami mata pelajaran.
“Tiga jam mengisi pilihan ganda, tapi hasilnya menghantui dirinya seumur hidup. Ini tidak fair. Untuk bisa menilai cognitive pun belum lengkap, ini hanya aspek memori. UN bahkan tidak menyentuh karakter values anak,” tutur Nadiem.
Atas dari itu, Nadiem menilai lebih baik UN diganti dengan asesmen kompetensi dan survei karakter. Kemendikbud pun akan bekerjasama dengan tim PISA (Program International for Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Topik yang diujikan juga hanya dua. Literasi atau kemampuan memahami konsep bacaan, dan numerik.
“Numerik ini bukan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan hitung berhitung dalam konteks nyata,” kata dia.
Sementara, untuk survei karakter, Kemendikbud akan membuat pertanyaan mengenai pancasila. Pertanyaan itu bukan hafalan sila-sila Pancasila, tapi lebih kepada subtansi seperti gotong royong, keadilan, toleransi, dan lain-lain.
Nadiem berjanji survei itu tidak akan menyulitkan para siswa. Formatnya akan dibuat sederhana, sehingga kondisi anak juga bisa dilihat. Misalnya apakah anak dalam kondisi aman, tidak stress, tidak dirundung, atau tidak mendapat tekanan dari orang tua dan guru.
Dengan metode itu, kata Nadiem, UN yang tadinya dilakukan di akhir, sekarang dilakukan di tengah jenjang. Ini agar angka-angka hasil UN tidak lagi dijadikan sebagai alat alat seleksi untuk masuk tahap berikutnya.
“Ini penting untuk mengakhiri penghukuman siswa dengan angka UN,” kata Nadiem.
Mendikbud Kembalikan USBN ke Sekolah
Nadiem Makarim juga merencanakan pengembalian pelaksanan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) kepada sekolah. Kendati demikian, ia menyebut tak memaksakan kepada setiap sekolah untuk menerapkan metode tersebut.
“lni enggak dipaksakan,” kata dia. Maka itu, jika ada sekolah yang masih nyaman dan tetap ingin menggunakan soal USBN maka tidak ada larangan. “ltu hak sekolah,” ujar Nadiem.
Namun, bagi guru-guru yang sudah siap melalukan penilaian dengan essay dan project, maka mereka bisa menerapkan lebih dahulu.
Dia menjelaskan, keputusan itu untuk mengembalikan dan menguatkan kedaulatan sekolah dalam menilai kompetensi siswa. Ia pun meminta anggota Komisi X tidak khawatir jika pelaksanaan USBN ini tidak mengikuti standard nasional.
“Ini penting yang banyak orang salah persepsi. Ada kekhawatiran apakah ini tidak akan berstandard nasional. loh standardnya kan sudah ada kurikulum 2013,” ujar Nadiem.(EP)