Indonesiainside.id, Jakarta – Awal tahun 2020 telah tiba, banyak peristiwa penting terjadi di 2019 yang layak dipetik sebagai pelajaran untuk memperkuat pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di antaranya hajatan demokrasi terbesar yaitu Pilpres dan Pileg berlangsung di tahun 2019, dengan segala dinamika dan ketegangannya. Dengan segala riuh-rendah dan ancaman segregasi sosial bernuansa SARA, bangsa Indonesia lolos dari prahara perpecahan.
“Tapi, rekonsiliasi perlu didorong terus-menerus melalui semen-semen perekat sosial yang mengembalikan semangat gotong royong, tepo seliro, rukun dan guyub yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang ber-bhinneka tunggal ika,” kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Kamis (2/1).
Nahdlatul Ulama, lanjutnya, perlu mengingatkan kembali seluruh elemen bangsa tentang khittah NKRI. Pancasila, jelas dia adalah konsensus yang menengahi seluruh perbedaan, tenda besar yang menaungi seluruh komponen bangsa tanpa membedakan asal-usul suku, agama, ras, dan antar-golongan.
“Proses integrasi dipupuk untuk mengatasi segregasi horizontal dan vertikal dalam rangka menghapuskan diskriminasi sosial dan ekonomi,” katanya.
Dia menuturkan, seluruh warga negara sama kedudukannya di muka hukum. Tidak ada mayoritas dan minoritas, tidak ada ras dan etnis tertentu yang lebih unggul dibanding yang lain.
“NKRI yang diikat oleh Pancasila dan UUD 1945 serta berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika merupakan prinsip-prinsip final yang harus dipertahankan sampai kapan pun,” katanya.
Di tengah gelombang pasang kembali ke agama, jelas dia, para politisi hendaknya berhenti mengeksploitasi agama sebagai basis preferensi elektoral. Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan tentang trilogi ukhuwwah sebagai fundamen membangun persaudaran yaitu persaudaran keislaman (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah/insaniyah).
“Kebangkitan kembali ke agama hendaknya tidak melahirkan sektarianisme yang menimbulkan segregasi dan skisma sosial,” ucapnya.
Maraknya kampanye yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, sebagai contoh, adalah wujud kegagalan mentransformasikan trilogi ukhuwwah itu. Semakin kuat kembali ke agama justeru semakin cenderung ke arah eksklusivisme dan intoleransi.
“Seharusnya kembali ke agama adalah kembali ke ajaran welas asih, tepo seliro, lapang dada, adil, dan proporsional,” ujarnya.
Dalam konteks NKRI, beragama harus senafas dengan berbangsa. Setiap individu, bisa menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus warga negara-bangsa yang baik.
‘Radikalisme dan fundamentalisme yang mengeksploitasi agama sebagai basis segregasi harus ditolak dan dicegah melalui program deradikalisasi dan kontra-radikalisme yang tepat dan terarah,” ujarnya. (Aza)