Indonesiainside.id, Jakarta –Hujan deras seharian yang berlangsung sejak 31 Desember 2019 sampai 1 Januari 2020, telah menyebabkan banjir di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Ini menyangkut tiga provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Jawa Barat ada 97 titik banjir, di DKI ada 63 titik dan di Banten ada 9 titik. Dari ketiga provinsi itu, banjir tertinggi ada di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, dengan tinggi mencapai 2,5 m. Di Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi, secara umum lebih parah bila dibandingkan dengan yang terjadi di wilayah Ibu Kota Jakarta.
Banjir di 63 titik di Jakarta disebabkan terjadinya hujan lokal sangat deras dan lama, adanya air kiriman dari puncak Bogor (Jawa Barat) yang juga mengalami hujan lebat, permukaan air laut yang lebih tinggi dari muara sungai, ditambah lagi air laut yang lagi pasang.
Jika dilihat dari tingkat keparahan dan luasnya banjir, Jawa Barat lebih parah dan lebih luas sebarannya. Tetapi mengapa Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang disalahkan dan jadi bahan bullian?
Menurut pengamat politik Tony Rosyid, setidaknya ada 2 hal, mengapa Anies Baswedan yang jadi sasaran kritik dan bullian.
Pertama, Jakarta itu Ibukota. Dekat dengan media. Apapun yang terjadi di Jakarta, positif maupun negatif, pasti ramai. Tidak perlu heran, karena Jakarta dikenal publik sebagai wilayah politik. Segala komentar yang muncul umumnya politis. Pendapat yang muncul seringkali bernuansa politik. Tentu tak semua. Karena, di Jakarta masih banyak tokoh yang punya pandangan jernih dan obyektif.
Kedua, gubernur Jakarta punya haters. Semua kepala daerah juga punya haters. Bedanya, haters Anies ini dirawat, aktif dan bahkan sangat atraktif. Tak salah kalau disebut sebagai haters profesional. Sebagian diduga “premium”. Haters profesional ini kerja spesialnya cari-cari kesalahan Anies, lalu mengolahnya agar jadi barang “bullyan”. Tak ubahnya seperti dirijen isu.
Menurut Tony, Anies tak perlu dibela. Begitu juga gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, dan bupati maupun walikota Jabodetabek. “Mereka butuh diberi masukan dan para korban perlu dibantu. Itu baru keren!” katanya.
Para pejabat publik, terutama presiden dan kepala daerah, menurut Tony, mesti siap dikritik. Tidak hanya dikritik, tapi juga harus siap dibulli dan dicaci maki. Inilah risiko jadi pejabat. Gak siap? Jangan jadi pejabat. “Tidak terbang ketika dipuji, tidak tenggelam ketika dimaki”, begitu kata Anies Baswedan.
Dalam menghadapi musibah banjir, seperti yang terjadi saat ini, orientasi solusi tentu jauh lebih efektif dari pada menghabiskan energi untuk saling menyalahkan. Apa yang dilakukan BAZNAS Pusat yang mengirim timsar dan BAZNAS DKI yang menyiapkan logistik untuk para korban banjir jauh lebih konkret. “Berbagai tindakan sosial untuk membantu korban mesti jadi spirit masyarakat untuk mengambil bagian dalam membantu para korban banjir ini,” papar Tony Rosyid. (HMJ)