Indonesiainside.id, Jakarta – Pengusung RUU Ketahanan Keluarga, Netty Prasetiyani Heryawan, memaklumi riak-riak penolakan RUU Ketahanan Keluarga saat ini. Menurut dia, sentimen negatif terhadap RUU itu muncul karena ada kesalahpahaman.
Misalnya, banyak isu negatif yang berkembang di masyarakat seperti urusan privat warga negara, domestifikasi perempuan, hingga masalah pemaksaan pemenuhan properti dalam keluarga. Masalah-masalah seperti itu diduga diatur dalam RUU tersebut.
“Hal tersebut wajar, dikarenakan mungkin masyarakat yang berkomentar belum membaca draf dan naskah akademik secara keseluruhan,” kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/3).
Isteri dari mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan ini, terbuka dengan semua kritik kepada RUU Ketahanan Keluarga. Dia mengakui RUU ini belum sempurna.
Netty menjelaskan, selain RUU Ketahanan Keluarga, ada dua RUU yang memiliki tema beririsan, yakni RUU Kependudukan Keluarga Nasional yang diusung oleh PDIP dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang diusung oleh PKB.
“Hanya saja karena secara berkas, yang sudah lengkap adalah RUU Ketahanan Keluarga, maka RUU ini masuk ke dalam prolegnas periode ini,” ucapnya.
Dia menjelaskan bahwa proses RUU Ketahanan Keluarga ini masih merupakan tahap awal dalam pengajuan RUU di legislatif. Sebelum dilakukan pembahasan, RUU harus melalui beberapa tahap yakni Uji Panja Harmonisasi kemudian akan ditetapkan oleh Baleg layak dibahas atau tidak, jika layak dibahas maka RUU akan dibahas di Rapat Paripurna.
“Nah, yang menjadi filosofi RUU Ketahanan Keluarga adalah profil keluarga Indonesia yang berjumlah 62,5 juta keluarga dengan persentase 51,17 persen keluarga adalah lulusan SD. Sedangkan yang lulusan perguruan tinggi hanya berjumlah tujuh persen saja,” kata dia.
Selain itu, yang menjadi indikator keluarga sejahtera di Indonesia adalah apabila dalam keluarga tersebut anak-anak yang berusia 7 sampai 12 tahun masih sekolah, memiliki pakaian minimal dua potong, memakan daging minimal sepekan sekali, lantai rumahnya bukan tanah dan apabila sakit akan pergi untuk mendapatkan pelayanan di pusat kesehatan masyarakat.
“Satu saja indikator tersebut tidak terpenuhi, maka keluarga tersebut dinyatakan keluarga prasejahtera,” ujarnya.
Sehingga dengan jumlah persentase keluarga yang didominasi oleh lulusan SD, akan selaras dengan jumlah keluarga prasejahtera di Indonesia. Maka, pemerintah dipaksa teribat dalam pemenuhan berbagai kebutuhan pangan, pendidikan dan ekonomi.
“Hal yang tercantum dalam RUU Ketahanan Keluarga ini merupakan sebuah solusi dari permasalahan tersebut,” katanya.
Ketua Bidang Perempuan Pengurus Pusat KAMMI, Anis Maryuni, mengungkapkan bahwa ketahanan keluarga merupakan bagian elemen fundamental untuk dibahas di legislasi. Anis menyampaikan BP PP KAMMI akan mengawal RUU Ketahanan Keluarga ini dengan membantu merumuskan dan memberi alternatif bagi hal-hal yang tidak memiliki standing point yang kuat.
“Sehingga peran mahasiswa adalah turut aktif untuk mensupport dan mensukseskan adanya produk legislatif yang sesuai dengan spirit kebangsaan,” tuturnya.
Menanggapi sentimen negatif masyarakat yang telah terlebih dahulu booming di masyarakat, Anis menyatakan BP PP KAMMI siap membantu mencerdaskan agar masyarakat tidak hanya memahami klausul produk legislatif, tapi juga memahami hakikat dan falsafah yang mendasari pembentukan RUU Ketahanan Keluarga.
Koordinator Aliansi Cerahkan Negeri (ACN), Eric Armero menyampaikan bahwa ACN telah menyatakan dukungannya terhadap RUU Ketahanan Keluarga kepada pengusung RUU Ketahanan Keluarga yang juga menjadi pemateri dalam diskusi tersebut. Ia mengungkapkan akan terus melaksanakan kajian dan pembahasan mengenai RUU tersebut.
“Kami juga siap berkolaborasi dengan siapapun yang sejalan dengan ACN untuk mengawal RUU Ketahanan Keluarga di DPR,” kata dia. (Aza)