Indonesiainside.id, Jakarta – Pembebasan Irian Barat merupakan salah sath isu kedaulatan terbesar pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia. Pad awalnya, Irian Barat adalah wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda.
Ketika penyerahan kemerdekaan Republik Indonesia, Irian Barat belum disertakan di dalamnya. Hal itu menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan antara RI dan Belanda. Sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tabun 1945-1963.
Peristiwa itu bermula ketika Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat ke dalam bagian NKRI, dan memilih menjadikan wilayah itu sebagai negara boneka. Konflik perebutan wilayah ini menguras banyak energi tokoh-tokoh NKRI untuk tetap menjaga kesatuan wilayahnya. Untuk mempertahankan Irian Barat, mereka berjuang melalui berbagai jalur mulai dari diplomasi hingga militer.
Peneliti Sejarah Budaya Maluku, Prof. Mus Huliselan, mengatakan, pada tahun 1960, Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik antara Indoensia dan Belanda. Hal ini didukung oleh Presiden Amerika Serikat, Kennedy.
“Kekuatan militer akan digunakan untuk merebut kembali Irian Barat,” kata Mus Huliselan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta, Kamis (12/3).
Soekarno pada 14 Desember 1961 membentuk sebuah komando khusus untuk pembebasan Irian Barat. Komando itu dinamai Komando operasi tertinggi (KOTI). Soekarno dibaiat sebagai Panglima Besar dan Nasution sebagai wakil panglima besar.
Pada 19 Desember 1961, Soekarno kemudian mengumumkan pembentukan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Mus Huliselan mengatakan, dengan dibentuknya komando Mandala untuk mempersiapkan operasi militer melawan Belanda, Mandala menyusun dua strategi.
Pertama, meneruskan infiltrasi ke Irian Barat untuk serangan umum. Kedua, serangan unum yang akan dilakukan serentak dari beberapa pemusatan pasikan di wilayah Maluku.
Mus Huliselan menjelaskan, Sultan Tidore Zainal Abidin Syah sebagai gubernur pertama provinsi perjuangan Irian Barat mempunyai andil besar dalam menyukseskan tujuan dari pergerakan militer ini. Zainal Abidin Syah berpartisipasi secara langsung dalam menyusun berbagai strategi
“Sultan Zainal Abidin Syah juga melakukan kunjungan ke berbagai pusat konsentrasi para gerilyawan seperti Weda, Patani, dan Gebe untuk menyemangati masyarakat dan para gerilyawan,” ucap dia.
Mus Huliselan menuturkan, sebelum trikora terbentuk, Sultan Zainal Abidin Syah telah menggerakan Bobatonya menyusup ke Irian Barat. Zainal Abidin Syah mengirim Kapita Lau Qawiyuddin Do Husain dan Sekretaris Abdullah Togubu pada tahun 1947-1948 ke Manokwari untuk bertemu tokoh-tokoh di sana.
Kemudian, pada tahun 1950, Sultan Zainal Abidin Syah menugaskan tokoh Tidore ke Irian Barat, misalnya Jafar Idris Faaroeq yang menjabat sebagai Ketua Badan Pembebasan Irian Barat.
“Jadi jauh sebelum pembebasan Irian Barat dicetuskan oleh Bung Karno melalui kekuatan militer, Sultan dan sekelompok tokoh Tidore telah memiliki satu organisasi bayangan ‘pembebasan Irian Barat’.” ucap Mus Huliselan.
Mereka merasa terpanggil karena dari sisi historis, Irian Barat adalah bagian dari Kesultanan Tidore, tali kala itu Irian Barat dipisahkan dari Tidore (tidak lagi di bawah Sultan Tidore). Menurut pertimbangan mereka, jika Irian Barat adalah baguan dari Tidore maka otomatis menjadi bagian dari Republik Indonesia.
“Sampai saat ini Pak Amin Faaroeq masih memiliki bukti surat tugas yang diberikan kepada ayahnya Pak Jafar Idris Faaroeq,” ucap Mus Huliselan.
Dengan demikian, pembentukan tri komando rakyat oleh Soekarno pada 19 Desember 1961 langsung mendapat mandat dukungan dari petinggi Kesultanan Tidore dan masyarakat setempat.
Di Soa-Sio, para pemuda bergabung membentuk pasukan dengan nama Batalion Maoka II. Anggotanya sebagian besar terdiri dari pemuda Irian Barat yang menyebrang ke Soa-Sio untuk ikut bergabung dalam Batalion Maoka II. Mereka minta dikirim ke Irian Barat mengusir penjajah.
“Begitu juga masyarakat Tidore disiapkan dengan latihan harus berbaris, menggunakan senjata dan latihan meloncat dari mobil,” ujarnya.
Mulai pada saat itu, berbagai tekanan dilakukan Republik Indonesia pada Belanda, bail melalui perundingan maupun melalui kekuatan militer. Kekuatan militer yang dikerahkan dari Tidore (dari Dermaga laut Goto/Trikor) berangkat pasukan (PG) 500 yang dipimpin oleh Letnan Infantri J. Kumontoi ke daerah perbatasan. Pasukan itu berhasil mengibarkan bendera merah putih di pantai Saoka, daerah kepala burung Irian Barat.
Dari dermaga itu pula berangkat pasukan gerilya PG 400 bersama Sri Kandi Herlina yang ditugaskan oleh komando Mandala sebagai pimpinan penerangan mandala yang diterjunkan ke Irian Barat melalui P. Gebe. Di mana terdapat pos militer yang melatih para pemuda untuk tugas infiltrasi ke Irian Barat.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok para gerilyawan, masyarakat Tidore dengan sukarela menyiapkan berbagai jenis makanan diletakkan di halaman rumah untuk diangkut dengan perahu ke daerah gerilyawan itu berada.
“Rupanya tekanan militer telah mempengaruhi secara langsung keputusan Belanda untuk tetap mempertahankan Irian Barat,” lanjutnya.
Atas campur tangan Presiden Amerika Serikat, Kennedy, melalui perundingan antara Indonesia dan Belanda, akhirnya mendapat kesepakatan melalui perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.
Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dan Belanda, maka pemerintah sementara yang dibentuk oleh PBB (United Nation Temporary Executive Authori Yuntea) tiba di Irian Barat melakukan serah terima pemerintahan dari tangan Belanda pada 1 Oktober 1962.
Melalui Uintea pada 1 Mei 1963 dilakukan serah terima pemerintahan ke tangan Republik Indonesia. Mulai saat itu, Irian Barat resmi menjadi sebuah provinsi ke 26 dengan Ibu Kota Sukarnopura (sekarang Jayapura).
“Dengan ditetapkan Irian Barat sebagai provinsi dengan Ibu Kota Jayapura, maka Tidore tidak lagi merupakan provinsi perjuangan Irian Barat dan Soa-Sio kembali menjadi ibu kota kesultanan Tidore,” ucapnya.
Sejak 4 Mei 1961, gubernur pertama provinsi perjuangan Irian Barat dan dilakukan serah terima jabatan dengan kolonel Pamuji sebagai wakil. Sementara, Sultan Zainal Abidin Syah diangkat sebagai gubenur Departemen Dalam Negeri.
Pada 1962, Sultan Zainal Abidin Syah diperbantukan pada panglima mandala di Makassar dalam status sebagai Sultan Tidore. Penetapan Sultan Zainal Abidin Syah pada Komando Mendalam tentu mempunyai tujuan tertentu. Sebab, sebagai seorang Sultan Tidore dan gubernur pertama provinsi perjuangan Irian Barat, ia masih mempunyai pengaruh luas.
Pada 1 Juni 1963, Sultan Zainal Abidin Syah menjalani masa bebas tugas setelah Irian Barat resmi menjadi bagian dari NKRI pada 1 Mei 1963. Ia menjabat sebagai Sultan Tidore sampai 30 Juni 1967.
Sultan Zainal Abidin Syah meninggal pada 1 Juli 1967 di Ambon. Ia dimakamkan di Makam Pahlawan Kapahaha Ambon dengan upacara militer. Pada 11 Maret 1986 okeh keluarga kesultanan jenazah almarhum dipindahkan ke Soa-Sio Tidore. Jenazah sempat disemayamkan di Sonyine Soloka (pelataran emas) Kedaton Kie Soa-Sio Kesultanan Tidore.
“Yang menarik adalah bahwa ikatan antara Tidore dsn Papua sampai saat ini masih merupakan satu modal sosial yang tidak terlupakan. Hubungan ini dapat dilihat pada setiap perayaan hari ulang tahun Kota Tidore Kepulauan 12 April, biasanya turut dihadiri oleh utusan dari Papua dengan mengenakan pakaian adat,” ucap dia.
Mus Huliselan lalu menyimpulkan bahwa Zainal Abidin Syah sebagai seorang Sultan maupun gubernur pertama provinsi perjuangan Irian Barat adalah seorang tokoh bangsa yang setia dan berbakti kepada NKRI.
“Tanpa Zainal Abidin Syah perjalanan sejarah perjuangan pengembalian Irian Barat akan berjalan lain dari yang kita telah alami,” tutur Mus Huliselan.
Dia mengatakan, apapun Zainal Abidin Syah telah berjasa untuk bangsa dsn negara. Terutama yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikan, apa yang kita kenal sebagai NKRI saat ini dan ke depan sebagian daripadanya adalah hasil investasi yang diamalkan Zainal Abidin Syah.
“Untuk pengabdiannya selalu dikenang oleh masyarakat Tidore, maka saat ini namanya telah diabadikan pada salah satu jalan utama di Soa-Sio,” tandasnya. (EP)