Indonesiainside.id, Jakarta – Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menilai pemerintah yang pada awal mula munculnya virus corona (Covid-19) seperti mengganggap remeh, kini malah gagap menghadapi wabah itu. Apalagi, sampai hari ini pemerintah belum memiliki skema jelas dalam penanganan pandemi virus asal Wuhan, Cina itu.
“Kami mendapatkan informasi dari masyarakat di berbagai daerah banyak yang mengeluh, bingung, dan semakin khawatir akibat tidak mendapatkan pelayanan secara aman dan meyakinkan ketika merasa ada indikasi terpapar virus Covid-19,” ungkap Sukamta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (18/3).
Menurut dia, masyarakat yang ingin mengecek kondisi karena memiliki gejala dan riwayat kontak dengan suspect bahkan positif corona, ketika datang ke rumah sakit rujukan, malah semakin bingung dan khawatir. Ia menyebutkan, penanganan pasien amburadul. Mulai dari ruang isolasi yang tersedia, ternyata banyak ditemukan kurang layak. Pasien yang memiliki indikasi Covid-19 disatukan dalam satu ruangan yang berisi 4-6 orang.
“Ruang isolasi sangat terbatas jumlah maupun fasilitasnya. Setelah dicek di lapangan, banyak rumah sakit di berbagai daerah belum memiliki fasilitas memadai seperti negative pressure room,” katanya.
Padahal, fasilitas yang dipergunakan untuk isolasi adalah peninggalan dari kasus-kasus sebelumnya. Pemerintah pun sampai sekarang belum menyediakan anggaran untuk perlengkapan maupun penambahan ruang ruang yang diperlukan.
Sejak pengumuman kasus pertama, kata dia, kasus-kasus selanjutnya membuat publik bingung. “Ditemukan beberapa kasus yang berubah hasil, salah satunya pasien suspect asal Bekasi yang meninggal di Cianjur. Perubahan hasil ini menurut saya akibat tidak tersedia standar virus transport medium (VTM),” ucapnya.
Padahal, persoalan manajemen sampel yang dikirim ke laboratorium menjadi hal krusial untuk menentukan status pasien. Jika manajemen tidak sesuai standar, tutur Sukamta, bisa mengakibatkan hasil negatif palsu yaitu hasil negatif namun pada kenyataannya positif Covid-19.
Selain persoalan VTM, jumlah kasus terus bertambah secara signifikan setiap hari. Tiga laboratorium yang ditunjuk pemerintah untuk memeriksa sampel tidak akan sanggup dan secara cepat memproses spesimen. “Walaupun pemerintah telah menambah lokasi pengujian sampel di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL), Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute, namun tiga lab tersebut dirasa masih kurang,” ujarnya.
Maka dari itu, menurut dia harus ada penambahan alat dan sinergi dengan kampus dan perusahaan yang memiliki peralatan uji Covid-19. Sebab, persoalan kemanusian pun bertambah, yaitu seolah-olah negara sengaja mengorbankan awak medis.
“Jubir pemerintah (Achmad Yurianto) mengatakan bahwa merupakan sebuah risiko yang harus ditanggung oleh tenaga medis ketika menangani pasien Covid-19. Pernyataan ini mungkin benar, namun menjadi konyol dan seakan negara tidak peduli dengan jihad tenaga medis karena di lapangan alat perlindungan diri (APD) tidak tersedia secara memadai,” jelas dia.
Sukamta mengingatkan, perlengkapan bagi tenaga medis yang tidak memadai dari segi jenis maupun jumlahnya akan membahayakan tenaga medis. Bisa jadi mengubah status dari penolong menjadi korban. “Tentu kejadian ini tidak boleh terjadi,” katanya.
Dia mengatakan, di antara kacaunya kondisi, hal terpenting yang seharusnya pemerintah segera perbaiki ialah manajemen penanganan wabah corona sebelum kondisi di luar kendali terjadi. Apabila pemerintah kembali terlambat menyiapkan dan mengambil langkah-langkah strategis, sulit untuk mengendalikan situasi yang sudah chaos.
Sementara, ketika perhatian masyarakat tertuju pada penanganan kasus corona, pemerintah ternyata masih membuka pintu masuk warga negara asing dari negara yang terkena wabah Covid-19 secara rombongan. “Ini akan memperparah psikologis masyarakat dan menmbah pekerjaan penanganan kasus-kasus yang ada jika WNA yang masuk ternyata terinvekasi Covid-19.” (AIJ)