Indonesiainside.id, Jakarta – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Agil Oktarya, menegaskan, Undang-Undang (UU) No.23/1959 tentang Keadaan Bahaya atau darurat Sipil diterapkan jika terjadi pemberontakan dan kerusahan yang meluas di tengah masyarakat. Dengan demikian, pemerintah salah kaprah jika menggunakan UU tersebut dalam menangani wabah Covid-19 di Tanah Air.
“Bagi saya penggunaan darurat sipil untuk penanganan Covid-19 itu tidak tepat karena berbeda rezim pengaturan,” kata Agil kepada Indonesiainside.id, Selasa (31/3).
Dia menjelaskan, darurat sipil ketika negara dalam keadaan darurat di sektor kemanana atau ketertiban, baik karena pemberontakan atau pun kerusahan. Darurat keamanan tersebut tidak bisa diatasi oleh alat-alat perlengkapan keamanan. Dalam situasi seperti itu, maka negara baru boleh menerapkan darurat sipil. “Artinya alat kemanan negara perlu diperluat baik kewenangan, otoritas, dan persenjataannya,” ucap dia.
Agil menegaskan, wabah Covid-19 tidak termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam UU Keadaan Bahaya itu. Indonesia saat ini tengah menghadapi darurat kesehatan. Darurat sipil dan darurat kesehatan adalah dua frasa yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda pula.
“Sehingga yang harus dilakukan adalah tetapkan dulu status menjadi darurat kesehatan nasional melalui Keppres, kemudian berlakukan karantina wilayah. kita lagi mengatasi orang yang lagi sakit, bukan orang yang sedang rusuh,” ucap dia.
Selain itu, kebijakan darurat sipil juga berpotensi merenggut kebebasan masyarakat. Sebagaimana diatur Bab II UU 23/59 dari pasal 8-pasal 21, dalam keadaan darurat sipil otoritas keamanan diberikan kewenangan lebih tinggi termasuk membuat aturan sendiri. Dalam Pasal 17 misalnya, kata Agil, diatur pembatasan penggunaan alat telekomunikasi.
“Otoritas kemanan diberikan hak untuk mengetahui segala informasi yang beredar bahkan membatasi peredarannya, jadi bisa saja nanti jika darurat sipil berlaku saluran telokomunikasi kita dikontrol termasuk medsos dll,” ucap dia.
Agil mengendus negara hendak lari dari tanggung jawab jika menerapkan UU Keadaan Bahaya. Dalam UU Karantina Kesehatan, negara wajib mememuhi kebutuhan pokok masyarakat jika menerapkan karantina wilayah. Kewajiban itu lah yang hendak dihindari sehingga pemerintah memilih menggunakan UU Keadaan Bahaya dalam menangani Covid-19.
“Ya (lari dari tanggung jawab). Sebenarnya sekarang pemerintah sudah mau menerapkan karantina wilayah tapi tidak siap dengan konsekuensi pasal 55 UU kekarantinaan, disana kan negara wajib memenuni kebutuhan dasar warga negara termasuk binatang peliharaan sekalipun. Untuk menghindari itu dipilihlah UU Keadaan Bahaya dengan pilihan darurat sipil, artinya negara lepas tanggung jawab selama keadaan darurat diberlakukan. Sekarang pun yang dipilih juga pembatasan sosial berskala besar yang tidak mewajibkan negara bertanggung jawab,” ucap dia.(EP)