Oleh: Muhajir
Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat Sosial Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menilai imbauan pemerintah agar masyarakat tidak mudik hanya mengulangi seruan untuk stay at home atau #DiRumahAja. Imbauan tak disertai sistem maupun regulasi yang tegas sehingga masyarakat tidak menanggapinya dengan serius.
“Saya kira ini hanya kembali mengulang imbauan untuk stay at home sebelum PSBB diberlakukan. Imbauan itu tidak bisa diharapkan karena tidak ada instrumen legal formalnya. Apalagi mudik itu adalah tradisi tahunan yang tentunya sulit untuk diubah secara tiba-tiba,” kata Rissalwan kepada Indonesiainside.id, Rabu (15/4).
Hal itu belum lagi sikap pemerintah yang tidak konsisten dengan kebijakan pembatasan mobilitas orang antar wilayah. Buktinya, kereta, kapal laut, maupun pesawat tetap beroperasi meski sudah ada pengurangan frekuensi.
“Belum lagi praktik kedatangan WNA asal Tiongkok yang terus saja berdatangan, padahal kita tahu bahwa sumbernya bisa dari sana,” ucap dia.
Terkait mudik sebagai sarana sarana penyebaran wabah, Rissalwan tak ingin menyimpulkan sesederhana itu. Ini karena pemerintah masih banyak menyembunyikan data atau tidak dimiliki oleh pemerintah.
“Ini adalah hal yang konyol karena sebaran wabah tidak mampu dipetakan oleh pemerintah. Kenapa berasumsi pemudik pasti membawa virus ke kampung halamannya? Kan bisa juga pemudik yang sehat justru tertular di kampungnya saat mudik,” ucap Rissalwan.
Asumsi lain, pemudik yang positif Covid-19 justru pulih saat mudik karena rasa senang memicu endorphin yang menambah kekebalan tubuhnya. Intinya, kata dia, tudingan mudik sebagai sarana penyebaran wabah mungkin benar, tapi tidak sepenuhnya benar.
“Ini karena tidak ada data riil tentang carrier virus dan pemetaan skenario penyebaran dalam sebuah contingency plan,” ucap Rissalwan.
Menurut dia, jika pemerintah transparan membuka data penyebaran virus dan skenario penyebaran di setiap wilayah, hal itu bisa menjadi acuan masyarakat agar tidak mudik. Contoh sederhananya, warga luar Jakarta akan berfikir ulang untuk datang ke ibu kota, karena mereka tahun wilayah tanggung jawab Anies Baswedan itu menjadi episentrum Covid-19.
Dia mengatakan, alasan pemerintah tidak membuka data karena tidak ingin membuat kepanikan justru membuat publik tidak waspada tentang luas penyebaran serta proyeksi penyebaran wabah.
“Kalau ini dibuka, misalnya daerah X sudah di kecamatan A dan desa Y, sudah sekian orang positif, dan dalam 2 pekan ke depan skenarionya akan turun jika desa tersebut ditutup sementara dari pendatang, maka orang dari yamg mau mudik ke desa itu pasti akan berpikir lagi untuk mudik,” ucap dia.(EP)