Indonesiainside.id, Jakarta – Buruh perempuan yang tergabung dalam Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) memiliki keresahan tersendiri saat merayakan Hari Kartini yang jatuh pada Selasa (21/4). Mereka mengaku menjadi salah satu kelompok paling merasakan dampak ekonomi akibat Covid-19.
“Kami buruh perempuan, yang juga merupakan generasi Kartini di era ini adalah bagian dari jutaan buruh perempuan yang kini menghadapi situasi darurat corona, menghadapi beban dan tekanan yang luar biasa,” tutur Ketua FBLP, Jumisih, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (21/4).
FBLP mengungkap, banyak buruh perempuan tetap bekerja dalam situasi ancaman tertular atau menjadi penular dari Covid-19. Cara kerja yang berdesakan dalam jumlah ratusan hingga ribuan dengan alat pelindung diri (APD) tak memadai menjadikan posisi mereka sangat rentan.
Tak hanya itu, buruh perempuan juga mengalami beban ganda. Selain kerja di pabrik, mereka harus menjadi pendamping atau guru bagi anak-anak sejak operasi lembaga pendidikan dihentikan sementara dan diganti dengan belajar daring (online).
“Dalam situasi kami harus bekerja dan anak di rumah, ini membuat ketidaknyamanan dan kekhawatiran kami dalam bekerja karena hawatir anak tidak ada yang memantau di rumah. Hal ini berpotensi melanggar hak anak atas perlindungan dan keamanan,” ucap Jumisih.
FBLP menyebut sudah banyak buruh perempuan yang dirumahkan tanpa upah penuh dan di-PHK sepihak tanpa mendapatkan pesangon. Kinerja pengawasan ketenagakerjaan sangat lambat dan nyaris tidak peduli dengan kondisi itu.
Jumisih mengatakan, kondisi itu berdampak terhadap keberlangsungan isi perut dan keluarga. Ia menyebut 1 buruh perempuan di-PHK, akan berdampak pada asupan gizi anggota keluarga. Di sisi lain, bantuan sembako pemerintah belum merata ke semua masyarakat rentan.
“Menurut hemat kami seharusnya juga berhak menerima sembako dari pemerintah dengan jaminan keberlanjutan gizi yang baik dan demi tetap sehat di tengah wabah pandemi,” kata Jumisih.
Jumisih juga menceritakan nasib buruh perempuan yang merantau. Pendapatan mereka merosot, lebih besar pasak daripada tiang. Mereka terancam diusir dari kos-kosan karena tidak sanggup membayar uang sewa bulanan.
“Sementara oleh pemerintah kami diimbau untuk tidak pulang kampung, tapi keberadaan kami di Jakarta tidak mendapat perlindungan yang baik,” kata dia.(EP)