Indonesiainside.id, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyoroti kasus meninggalnya empat anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal perikanan berbendera Cina. Dia menilai pengawasan dan kebijakan pemerintah mengenai pekerja migran masih amburadul.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengatakan, hingga saat ini belum ada aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah (PP) terkait tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Akibatnya, kekosongan regulasi itu membuat para pekerja rentan dieksploitasi, bahkan sering menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional, apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi,” ujar Hariyanto kepada Indonesianside.id, Kamis (7/5).
Sementara, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution mengatakan, sudah sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus yang menimpa para ABK Indonesia di kapal-kapal Cina. Tujuannya agar peristiwa serupa di masa mendatang tidak berulang.
“Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal, dalam hal ini Cina, untuk turut bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk perbudakan modern yang selama ini sering dialami oleh ABK Indonesia dan juga kerap melibatkan kapal-kapal ikan berbendera Cina,” ucap Arifsyah.
Di sisi lain, serikat buruh mendesak pemerintah memastikan pemenuhan hak-hak 18 ABK Indonesia dan keluarganya. Segera proaktif untuk mengusut tuntas penyebab hilangnya nyawa empat ABK Indonesia.
Mereka diduga mengalami perlakukan dan kondisi kerja buruk di sejumlah kapal berbendera Cina milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co Ltd yang juga diduga melakukan kegiatan perikanan ilegal dan bentuk-bentuk praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut.
“Segera ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan menuntaskan ego sektoral lintas kementerian dan lembaga yang menyebabkan penetapan aturan pelaksana terkait perekrutan dan penempatan ABK hingga saat ini mengalami keterlambatan,” kata Hariyanto. (AIJ)