Iktikaf –dalam kondisi normal– menurut keterangan buku “al-Fiqhu al-Manhajy– harus memenuhi dua syarat utama.
Pertama, niat. Jadi, ketika hendak memulai iktikaf, harus berniat untuk menunaikannya di masjid dalam waktu tertentu untuk beribadah dan melaksanakan sunnah Nabi. Terkait niat, Nabi bersabda, “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan,” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, jika ada yang berdiam diri di masjid, namun sekadar untuk tidur atau tujuan duniawi lain, maka tidak dianggap beriktikaf.
Kedua, berdiam diri di masjid. Berdiam diri di masjid dalam waktu yang secara kebiasaan sudah masuk kategori iktikaf.
Dalil yang biasa digunakan adalah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian mencampuri istri, ketika kalian sedang iktikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Dalam syarat kedua ini masuk juga masalah kebersihan diri dari janabat. Jadi, ketika masuk orang harus suci, tidak dalam kondisi junub. Demikian juga wanita, bersih dari haidh dan darah nifas. Yang tak kalah penting juga kebersihan baju dan badan dari najis yang bisa mengotori masjid.
Kalau ada orang saat iktikaf keluar dari masjid tanpa uzur atau alasan syar’i, maka iktikafnya batal. Jika ada alasan yang dibenarkan syariat, maka tidak batal.
Saat iktikaf tidak harus berpuasa, namun itu dianjurkan sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas berikut ini:
لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ
“Tidak ada kewajiban puasa bagi yang beriktikaf, melainkan orang yang mengharuskan pada dirinya sendiri.” (HR. Hakim).
Sebagai catatan penting. Pertama, ketentuan ini juga berlaku bagi orang yang iktikaf di mushalla rumah di masa pandemi. Kedua, maksud tidak ada keharusan puasa atas orang iktikaf adalah bagi yang beriktikaf di bulan Ramadhan, atau malam hari di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam. (Aza)