Indonesiainside.id, Jakarta – Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikan iuran BPJS Kesehatan. Seperti diketahui Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No.64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No.82/2018 tentang Jaminan.
Anggota MP3, Herni Ramdlaningrum, menyebut Joko Widodo tidak membaca putusan Mahkamah Agung (MA) bahwa defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) akibat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan. Atas dasar itu, ia menilai Joko Widodo tak bisa menjadikan defisit BPJS Kesehatan sebagai alasan menaikan iuran.
“Tidak boleh dibebankan kepada masyarakat,” kata Herni dalam diskusi daring ‘Kenaikan Iuran JKN, Kebijakan Tanpa Empati’ di Jakarta, Rabu (20/6).
Herni menegaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah kondisi ekonomi global tak menentu juga disebut MA bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan pasal 2 UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan. Pasal itu menegaskan bahwa SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusian, asas manfaat, dan asas keadilan sosial.
Selain itu, defisit BPJS Kesehatan berdasarkan hasil audit BPKP terhadap berasal dari manajemen yang buruk. Ada empat penyebab defisit pertama, kementerian terkait tidak serius berkoordinasi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial.
Kedua, ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Ini karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu.
Ketiga, adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Keempat, Mandulnya satuan pengawas internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.
“Seharusnya jelas bahwa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjawab persoalan defisit JKN adalah mengevaluasi dan membenahi pengelolaan BPJS Kesehatan, termasuk menelusuri fraud dan mengefektifkan kerja satuan pengawas internal BPJS Kesehatan. Menjawab persoalan dengan menaikkan iuran tak menjawab masalah secara tuntas,” kata Herni.
Pada saat masyarakat sedang berjuang menghadapi dampak pandemi Covid-19, Joko Widodo justru menaikkan iuran JKN melalui Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020. Besaran kenaikan bahkan hampir mencapai 100%.
Iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000,- menjadi Rp 150.000,- (87,5%), kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000,- (96%), dan kelas III naik dari Rp 25.500, menjadi Rp 35.000,- (37,25%), yang akan mulai berlaku pada Juli 2020.
Kenaikan iuran JKN ini bukan yang pertama. Pada 2019, presiden mengeluarkan kebijakan serupa dan efektif berlaku sejak 1 Januari 2020 sebelum akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA No. 7P/HUM/2020 pada 31 Maret 2020. (MSH)