Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, meminta pemerintah Indonesia menyampaikan secara terbuka dukungan kepada Turki yang telah mengembalikan status Hagia Sophia sebagai masjid.
“Sebagai negara Muslim terbesar, saya menilai Indonesia perlu menyampaikan sikapnya secara terbuka. Kita tentu menghormati perubahan status Hagia Sophia dan mendorong Turki untuk benar-benar mempertahankan keterbukaan akses bagi semua golongan atas situs bersejarah tersebut.
Fadli mengatakan, Indonesia merupakan negara muslim terbesar yang menganut politik luar negeri bebas aktif, serta tengah duduk di posisi-posisi strategis, sikap dan pernyataan Indonesia pasti akan didengar oleh negara-negara barat dan organisasi internasional. Sikap itu juga akan memberikan nilai tambah tersendiri bagi profil Indonesia di mata dunia internasional.
Pada 10 Juni 2020, Dewan Negara (The Council of State), yang merupakan pengadilan administratif tertinggi Turki, telah mengetuk palu pengembalian fungsi Hagia Sophia dari musem kembali menjadi masjid. dengan keputusan itu, maka keputusan presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, yang pada 1934 telah mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum, dinyatakan tak lagi berlaku.
Dunia Barat umumnya mengecam keputusan tersebut. Perubahan status itu dianggap telah dan akan menyinggung perasaan umum Krisitiani dunia, khususnya golongan Kristen Ortodoks. Ketika pertama kali dibangun oleh Kaisar Bizantium, Justinian I, pada tahun 532 hingga 537, Hagia Sophia semula dimaksudkan sebagai gereja katedral.
Meski demikian, sesudah Konstantinopel ditaklukkan oleh Sultan Mehmed II dari Kekhalifahan Usmani pada 1453, fungsi bangunan itu kemudian diubah menjadi masjid. Sultan Mehmed II, yang oleh bangsa Turki dijuluki sebagai ‘Al-Fatih’ alias ‘Sang Penakluk’, bukan hanya mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, namun juga mengganti nama konstantinopel menjadi Istanbul. Sultan Mehmed II adalah ‘Sang Penakluk’ termuda dalam sejarah dunia yaitu berusia 21 tahun.
Fadli menilai kecaman sejumlah pihak yang memandang perubahan status Hagia Sophia sebagai tindakan provokassi, tentu bukanlah pandangan tepat. Meskipun Hagia Sophia terdaftar statusnya sebagai Situs Warisan Dunia, namun kewenangan penentuan status fungsi dan peruntukannya sepenuhnya berada di tangan Turki sebagai negara berdaulat penuh atas Hagia Sophia.
“Persoalan UNESCO yang menilai tidak adanya komunikasi awal terhadap perubahan status tersebut, merupakan isu terpisah. Itu menjadi kewenangan UNESCO untuk meninjau kembali apakah status Sophia sebagai situs warisan dunia masih dapat diteruskan atau tidak” ujar dia.
“Kita tahu, sejak 1985 Hagia Sophia memang telah diakui sebagai salah satu dari situs Warisan Dunia Unesco yang disebut ‘Area Bersejarah Istanbul’, yang mencakup bangunan dan situs-situs bersejarah utama di kota itu,” imbuhnya. (Msh)