Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Umum Gerakan Kebangsaan Adil Makmur (Gerbang Amar), Djudju Purwantoro, berpendapat, diserahkanya draft RUU BPIP yang terdiri dari 7 Bab (17pasal) oleh pemerintah, bagaikan metamorfosa. Sementara, di satu sisi pemerintah justru berharap agar masyarakat bisa memberikan masukan positif bagi RUU BPIP yang substansinya juga berasal dari Perpres Nomor 7 Tahun 2018, tentang pembentukan BPIP.
“Nah, kedudukan BPIP sejatinya adalah sebagai suatu lembaga negara auxiliary (pembantu), yang bertugas untuk membantu presiden melaksanakan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara. Dapat dikatakan bahwa BPIP dibentuk guna menunjang fungsi negara untuk melakukan pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat,” kata Djudju, Sabtu (18/7).
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, ujar dia, secara konstitusional sudah secara jelas dan tegas terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 agustus 1945 oleh PPKI yang dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia.
Posisinya dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut, adalah bagian integral dari nila- nilai kebangsaan yang tidak dapat dinafikkan, dan direndahkan (down grade) menjadi hanya selevel UU. Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara, memilki kekuatan filosofis, ideologis dan yuridis, sebagai sumber dari segala sumber hukum
“Coba kita telaah konsideran RUU BPIP yang baru, maka semangatnya tetap saja tidak bisa menghindari atau masih mengacu pada
Pancasila 1 Juni 1945, yang rumusannya yaitu _nasionalisme (kebangsaan Indonesia), internasionalisme (perikemanusiaan),mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan,” tuturnya.
Dalam RUU BPIP tersebut, tetap saja meletakkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Seperti tercantum di dalam Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila, menempatkan KeTuhanan yang Berkebudayaanpada urutan ke 5 atau terakhir.
“Justru penetapan pemerintah hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, urutan dan klausul tersebut sampai saat ini masih menjadi kontroversial yang sangat masif di masyarakat,” katanya.
Karenanya, jika Pemerintah dan DPR tetap memaksakan untuk membahas RUU BPIP menjadi UU sebagai payung hukumnya, maka berpotensi menabrak (penyelundupan hukum) ketentuan hirarki peraturan Perundang-undangan, yang secara normatif levelnya hanya patut sebagai badan pembantu atau penasehat presiden. Dengan demikian keberadaan BPIP kontraproduktif, hanya sebagai lembaga ad hoc (shadow), dan harus dibubarkan dalam sistem ketatanegaraan.
“Fungsinya sudah diintegrasikan melalui butir-butir dan nilai-nilai Indonesia sebagai negara beragama. Pancasila sudah final menjadi falsafah dan alat pemersatu, yang akan tetap eksis dan mengalir dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Djudju. (SD)