Indonesiainside.id, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 1.519 pengaduan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Dari data tersebut 262, kasus telah memenuhi tiga unsur perdagangan, yaitu proses, cara, dan tujuan.
Koordinator advokasi SBMI, Salsa mengatakan, kasus perdagangan orang biasanya bermula dari iming-iming gaji yang menggiurkan. Calon korban diyakinkan akan mendapat gaji melimpah, kerja enak, dan bisa memperbaiki ekonomi keluarga di kampung halaman.
“Namun, calon pekerja migran ketika diberangkatkan tidak menyadari, mereka diberangkatkan secara prosedural atau unprosedural,” kata Salsa dalam peluncuran kertas laporan investigasi bertema ‘Jeratan Perdagangan Orang Dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran”, Kamis (30/7).
Berdasarkan temuan laporan investigasi SBMI, terdapat 75 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang telah memberangkatkan, lalu dari 1.519 kasus yang masuk, sebanyak 150 PRT migran diberangkatkan secara perseorangan.
“Tidak melaui P3MI, ini diduga kuat menjadi pelaku perdagangan orang,” kata Salsa.
Data SMBI mencatat, negara penempatan terbanyak dalam kasus yang ditangani ialah Arab Saudi, Taiwan, dan Malaysia. Faktor pendidikan yang rendah dan jeratan kemiskinan dinilai sebagai faktor mengapa seseorang mudah terjerat bujuk rayu oknum P3MI.
Salsa mengungkapkan, PRT seringkali mengalami eksploitasi sesampainya di negara penempatan. Mulai dari eksploitasi fisik sampai eksploitasi seksual.
Data yang dirangkum SBMI mencatat, sebesar 27,5 persen mengalami penindasan, 27,9 persen mengalami pemanfaatan fisik atau kekerasan seksual. Kemudian 24,6 persen memenuhi indikator kerja paksa yang ditepakan ILO (Organisasi Buruh Internasional).
“Contoh satu kasus kemarin yang kita tangani, PRT ini diperkosa majikan laki-laki, kejinya majikan me-live (menyiarkan langsung) ketika sedang memperkosa di akun Facebook si PRT,” ungkap Salsa.
PRT migran juga banyak yang mengalami penipuan sejak proses keberangkatan, saat berada di negara penempatan, atau dipersulit saat pemulangan. Misalnya, kata Salsa, mereka mnegalami pembatasan akses pergerakan dan penahanan dokumen pribadi.
“Komunikasi pun dibatasi dan bahkan ada yang tidak bisa sama sekali berkomunikasi. Kemudian mereka mengalami penahanan dokumen prbadi yang di Arab Saudi misalnya, paspor atau dokumen pribadi disimpan majikan atau agensi,” imbuh Salsa. (Msh)