Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf membeberkan data bahaya dan dampak minuman beralkohol atau minuman keras (miras) di Indonesia terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol.
Menurut anggota Badan Legislasi DPR RI ini, sekitar 58 persen tindakan kriminal di Indonesia dipicu oleh minuman beralkohol. Merujuk hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI, jumlah remaja yang mengonsumsi minuman beralkohol berada di angka 4,9 persen.
“Ironisnya, sekitar 14,4 juta remaja di Indonesia telah teridentifikasi sebagai konsumen minol. Artinya, bonus demografi yang kelak kita peroleh di kemudian hari, juga dibayangi oleh bahaya minuman beralkohol yang mengintai generasi usia produktif kita bila tidak ada perhatian serius yang melarang minuman beralkohol,” kata Bukhori di Jakarta, Jumat (13/11).
Karena itu, Bukhori berpandangan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol adalah investasi moral bagi kebaikan masa depan Indonesia. Dia berharap, dengan menekan jumlah peredaran minuman beralkohol di Indonesia melalui peraturan yang memadai, akan tercipta sumber daya manusia Indonesia yang sehat secara jasmani dan rohani serta kondisi masyarakat yang hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana amanat UUD 1945.
Dia mengatakan, anggota Baleg DPR masih memperhatikan konsumsi minuman beralkohol untuk kepentingan terbatas. Misalnya, seperti konsumsi minol untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, maupun kebutuhan farmasi.
“Kami mencoba merumuskan aturan yang lebih komprehensif, yakni mulai dari ranah produksi, distribusi atau pengedaran, sampai ranah konsumsi. Kendati demikian, kami juga tetap memperhatikan dengan seksama terkait pengecualian konsumsi minol untuk kepentingan terbatas seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan kebutuhan farmasi,” ujarnya.
Bukhori mengatakan pendekatan RUU Minol pada penyelamatan generasi penerus bangsa dari dampak negatif minuman beralkohol. Ia menilai belum ada model regulasi di Indonesia yang berhasil memakai pendekatan tersebut, bila mengacu pada data yang menunjukkan sekitar 58 persen tindakan kriminal di Indonesia dipicu oleh minuman beralkohol.
Kegagalan itu, menurut Bukhori, disebabkan pendekatan yang digunakan hanya bertumpu pada pengendalian diri semata. “Kami membutuhkan pendekatan yang lebih progresif untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari dampak merusak minuman beralkohol (minol),” ujar Bukhori.
Lebih lanjut, dia mencermati regulasi yang sudah ada (existing) juga masih bersifat parsial dan tidak komprehensif. Misalnya, dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pendekatan hukum hanya menyasar pada ranah penjualan dan konsumsi dengan sanksi pidana dan penjara yang lemah.
“Apalagi, tidak ada klausul yang tegas melarang konsumsi minol (untuk remaja) di dalam KUHP,” kata Bukhori.
Dengan demikian, KUHP dinilai tidak cukup memadai untuk melakukan rekayasa sosial di masyarakat dalam rangka menciptakan generasi yang bebas minuman beralkohol.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) pada 2011, Bukhori mengatakan ada 2,5 juta penduduk dunia yang meninggal akibat alkohol. Dari jumlah tersebut, sekitar 9 persen kematian terjadi pada usia 15-29 tahun atau usia produktif. (Aza/Ant)