Indonesiainside.id, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan diri tidak mati suri seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Tiga kasus korupsi terungkap dari kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam waktu yang tak berselang jauh.
Pada Rabu dini hari, 25 November 2020, KPK menangkap 17 orang, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Kemudian, pada Kamis (4/12), KPK menangkap 16 orang dalam rangkaian OTT terhadap Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo.
Sehari kemudian, atau beberapa saat setelah pengumuman penetapan tersangka terhadap Bupati Banggai Laut, KPK kembali melakukan OTT, Sabtu dini hari (5/12). Tiga rentetan OTT ini membidik orang-orang penting seperti Edhy Prbaowo sebagai menteri, petinggi Partai Gerindra, dan orang dekat Prabowo Subianto.
OTT yang terakhir, KPK menggulung praktik korupsi di kalangan pejabat eselon III Kementerian Sosial (Kemensos). Pelaku belum ditetapkan senagai tersangka karena masih diperiksa. Kasus ini juga mencengangkan publik karena yang dikorupsi atau disalahgunakan terkaist dengan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.
Selain pandemi ini memukul seluruh rakyat Indonesia, bantuan sosial dari Kemensos sejatinya disalurkan dengan penuh rasa tanggung jawab, amanah, karena menyangkut rakyat kecil yang pasti terdampak Covid-19, baik secara ekonomi maupun kesehatan.
Namun, ada saja pejabat yang (maaf) tidak punya nurani, karena nekat menggarap bantuan bagi rakyat yang terdampak tersebut di tengah kesulitan ekonomi seperti saat ini. Istilah keren yang populer saat ini adalah “tidak punya akhlak”.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron lewat Twitternya megatakan, “Pandemi adalah bencana kemanusiaan, mengapa masih ada yg tega memanfaatkan…” Dia juga menulis, “KPK menangis karena bencana, pandemi dan keterdesakan yang menjustifikasi pelonggaran masih dilihat sebagai kesempatan dan kemudahan untuk korupsi. Kami butuh segenap pihak untuk terus memberantas korupsi.”
Memang terlalu dini untuk menyebut KPK sukses di periode ini terkait pemberantasan korupsi. Selain itu memang menjadi tugasd KPK, kritik dan masukan kepada KPK tentu dibutuhkan agar KPK tetap berdiri kokoh dan menjadi momok bagi para koruptor.
Menariknya, soal kritik kepada KPK diakui oleh Nurul Gufron sebagai cambuk. Apa katanya?
“Terima kasih kepada semua. Cibiran dan kritikanmu kepada KPK adalah cambuk untuk kami terus bekerja agar Indonesia bersih dari korupsi,” kata Gufron lewat akun Twitternya.
Soal cibiran ini, disambut oleh mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Aktivis antikorupsi ini membalas kicauan Gufron, “Semoga kerja @KPK_RI terus konsisten dan tetap terbuka untuk dikritik. Menurut saya tidak perlu merasa dicibir atau dibenci, Pak Ghufron. Justru kritik-kritik terhadap KPK dilakukan karena publik ingin KPK bekerja benar. Selamat Sabtu pagi (emotikon: wajah tersenyum dengan mata terbuka).”
Kemudian dibalas Gufron, “Pejabat publik itu akan sehat dan lurus kalau dalam kontrol dan kritik dari publik.. Karena itu, teruslah jaga kami dengan kritikan-kritikanmu… Dont worry kami happy.”
Pemerintah tentu juga diharapkan bisa membangun diskursus seperti KPK soal kritikan dan masukan. Pemerintah tidak bisa hanya mengklaim siap dan menerima dikritik, tapi dalam tataran implementasinya tidak demikian. Misalnya, kepada Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab, Pemerintah diharapkan tidak menggunakan kekuasaan dan alat kekuasaannya untuk “memukul” pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan politik, tetap tuli terhadap para pendukungnya.
Twit pimpinan KPK Nurul Gufron ini mungkin bisa jadi penyemangat. “Pahit getirnya respons masyarakat adalah cermin, dia tak hadir sia-sia tapi mereka adalah utusan Tuhan,” tulisnya di akun Twitter, 17 Oktober lalu. (Aza)