Indonesiainside.id, Jakarta – Dalam kurun 11 bulan, Indonesia melaporkan 1 juta kasus Covid-19 pada Selasa, 26 Januari 2021.
Angka penularan virus SARS-CoV-2 ini terus meningkat sejak Indonesia mengonfirmasi kasus pertama pada 2 Maret 2020.
Sebanyak 500 ribu kasus pertama tercatat pada 23 November 2020, kemudian dua bulan setelahnya jumlah infeksi bertambah 500 ribu kasus lagi.
Angka kematian juga meningkat 44 persen menjadi 28.468 orang. Selain itu, lebih dari 600 tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19.
Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara, jauh lebih tinggi dibandingkan Filipina pada posisi kedua yang melaporkan 516 ribu kasus.
Meski demikian, sejumlah epidemiolog meyakini bahwa angka 1 juta yang tercatat ini tidak mewakili situasi penularan yang sesungguhnya.
“Kasus yang sebenarnya itu lebih besar. Mungkin angka 1 juta yang sebenarnya sudah tembus sejak lama. Ini kan hanya angka yang terlaporkan,” kata Epidemiolog asal Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, kepada Anadolu Agency, Selasa.
Dicky Budiman dari Griffith University Australia juga mengatakan hal serupa.
Upaya deteksi dan pelacakan kasus Covid-19 di Indonesia tidak secepat laju penularan dari virus SARS-CoV-2.
Kapasitas tes di Indonesia baru mencapai 267 ribu orang per minggu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mengakui bahwa masih banyak tes yang tidak tepat sasaran.
Selain itu, persentase kasus positif (positivity rate) di Indonesia melebihi 25 persen bahkan sempat mencapai 30 persen dalam beberapa pekan terakhir, ini menjadi penanda bahwa penularan di Indonesia tidak terkendali.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar sebesar 5 persen sebagai penanda bahwa pandemi Covid-19 terkendali dengan baik.
Menurut Dicky, sejumlah pemodelan epidemiologi yang diperhitungkan oleh Imperial College London (ICL), Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), dan Youyang Gu (YYG) mengestimasi kasus baru di Indonesia telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus per hari.
Sistem pencatatan dan pelaporan data yang buruk juga masih menjadi kendala memahami situasi pandemi yang sebenarnya sehingga berujung pada kebijakan pengendalian yang tidak tepat.
“Ini harus menyadarkan pemerintah bahwa faktor data ini begitu penting. Ketika data tidak memadai, akibatnya akan terjadi mislead dalam strategi dan mislead dalam asumsi,” ujar Dicky.
Fasilitas kesehatan diambang kolaps, kebijakan PPKM tidak cukup
Libur panjang akhir tahun lalu menyisakan dampak panjang bagi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Satgas Penanganan Covid-19 mencatat kenaikan kasus positif mencapai 27,5 persen pada pekan ketiga Januari 2021, kasus tertinggi sepanjang pandemi melanda Indonesia.
Pemerintah merespons situasi ini dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak 11 Januari hingga 8 Februari 2021 di sejumlah daerah berisiko tinggi di Pulau Jawa dan Bali.
PPKM berbeda dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dijadikan sebagai strategi penanganan pada masa awal pandemi.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto mengatakan PPKM bukanlah lockdown, melainkan hanya membatasi mobilitas masyarakat berbasis kabupaten dan kota yang memenuhi kriteria.
Kriteria yang dimaksud antara lain memiliki kasus aktif dan kasus kematian lebih tinggi dari rata-rata nasional, kasus sembuh di bawah rata-rata nasional, serta bed occupancy rate di ruang isolasi dan ICU di atas 70 persen.
Sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta, bahkan mencatat okupansi ruang isolasi dan ICU melebihi 80 persen.
Tanda bahwa fasilitas kesehatan diambang kolaps telah mulai muncul dalam beberapa waktu terakhir saat pasien Covid-19 sulit mendapatkan ruang isolasi dan ICU.
LaporCovid-19 —sebuah koalisi sipil yang menyediakan wadah bagi laporan warga— telah menerima 34 laporan warga yang meminta dibantu mencari ruang isolasi maupun ICU untuk pasien Covid-19 di Jabodetabek.
Beberapa kasus di antaranya berujung kematian.
Salah satunya terjadi pada seorang warga Depok, Jawa Barat yang meninggal di taksi online ketika berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya untuk mendapatkan perawatan.
Pasien tersebut menjalani isolasi mandiri hingga suatu hari kondisinya memburuk dan keluarga mencari fasilitas ambulans untuk mencari rumah sakit.
Epidemiolog Dicky Budiman menuturkan kenaikan angka kematian sebesar 37,4 persen pada pertengahan Januari dan banyaknya pasien yang kesulitan mendapatkan ruang perawatan merupakan tanda lainnya betapa pandemi tidak terkendali.
“Apalagi dengan positivity rate yang sangat tinggi, itu artinya banyak kasus infeksi yang terdeteksi tetapi liar sehingga indikator kematian meningkat, begitu juga dengan hunian rumah sakit,” kata dia.
Dalam tahap ini, Dicky menilai kebijakan seperti PPKM tidak lagi cukup untuk mengendalikan situasi.
Pemerintah perlu mengambil langkah seperti memberlakukan PSBB untuk memberi napas bagi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Kebijakan PSBB dinilai dapat menekan mobilitas masyarakat, mengurangi risiko penularan lebih lanjut, sehingga upaya mendeteksi kasus-kasus infeksi pun menjadi lebih mudah.
“Yang dibutuhkan adalah PSBB atau lockdown versi Indonesia. Berhenti semua aktivitas. Dalam periode ini, ini yang kita butuhkan,” kata dia. (EP/AA)