Indonesiainside.id, Jakarta – Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, respons pemerintah terhadap situasi pandemi di Indonesia tidak sepadan dengan besarnya masalah yang tengah dihadapi.
Hingga saat ini, Indonesia melaporkan lebih dari 1,1 juta kasus positif dengan 31 ribu pasien meninggal, dan 171 ribu kasus aktif. Namun, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelongggaran di tempat-tempat tertentu, meski pada saat yang bersamaan, diberlakukan PPKM mikro.
Dia menilai pelonggaran aktivitas di sektor ekonomi dan sosial cenderung kontradiktif dengan penguatan pembatasan di level desa dan kelurahan. Apalagi, di saat kapasitas tes, penelusuran kontak, serta penanganan pasien Covid-19 di level mikro belum cukup meyakinkan untuk mengimbangi pelonggaran tersebut.
Indonesia sejauh ini belum mampu memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melacak 30 orang kontak dari 1 pasien positif. Jumlah tes juga belum mencukupi dan tidak merata.
Menurut Dicky, positivity rate Indonesia yang berkisar di atas 25 persen bahkan mencapai 30 persen menunjukkan bahwa situasi pandemi belum membaik karena jauh lebih tinggi dari standar pengendalian pandemi yang ditetapkan WHO sebesar 5 persen.
Upaya tes dan penelusuran kontak, kata dia, perlu ditingkatkan secara masif untuk mengimbangi pelonggaran aktivitas ekonomi dan sosial. “Ini tidak saling bersinergi, yang artinya bisa saling melemahkan. Kalau pembatasan di komunitas sudah lumayan bagus tapi di populasi umum justru dilonggarkan, ini kontradiktif,” kata Dicky kepada Anadolu Agency, Selasa (9/2).
“Penguatan di tingkat desa dan kelurahan penting, tapi efektivitasnya bergantung dengan program test, tracing, treatment yang dilakukan pemerintah pada level itu,” kata dia.
Dicky menilai data yang menjadi landasan pemerintah untuk mengambil kebijakan ini belum cukup menggambarkan situasi sesungguhnya. Terkait okupansi tempat tidur di rumah sakit misalnya, dia mengatakan penurunan bed occupancy rate (BOR) bisa jadi terjadi karena pemerintah telah menambah kapasitas sebagai respons mengatasi rumah sakit yang terancam kolaps.
“Bahwa bed occupancy rate-nya menurun kan memang sudah ditambah jumlahnya, jadi bias dan data ini harus dicermati,” kata dia.
Sementara itu, dari tren kematian yang tetap tinggi. Artinya, situasi Covid-19 masih sangat serius dan belum tepat dilakukan pelonggaran. Ditambah lagi dengan positivity rate yang juga tinggi (Aza/Ant)