Indonesiainside.id, Jakarta—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyampaikan desakan kepada militer Myanmar agar segera membebaskan dan menghentikan kekerasan kepada jurnalis yang sedang bertugas. Sedikitnya 22 wartawan ditahan sejak militer melakukan kudeta.
“Mendorong otoritas Myanmar untuk membebaskan dan menghentikan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya. Setiap jurnalis memiliki hak untuk meliput peristiwa publik yang penting di Myanmar, tanpa takut ditangkap atau dianiaya,” demikian surat pernyata AJI, Jumat (5/3).
AJI juga mendesak pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa warga sipil. “Mendorong otoritas Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa di sisi warga sipil Myanmar yang sedang berjuang mempertahankan demokrasi. Selain mengancam warga Myanmar, kudeta militer dan rangkaian kekerasan ini dapat berpotensi mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara.”
Selanjutnya, AJI juga meminta pemerintah Indonesia menggunakan ASEAN dan PBB untuk melakukan investigas. “Mendorong pemerintah Indonesia untuk merangkul negara-negara anggota ASEAN untuk mendukung Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirimkan tim investigasi ke Myanmar. Tim ini penting untuk melaporkan kondisi dan menghentikan kekerasan yang terjadi di Myanmar,” demikian pernyataan AJI yang ditandatangani Sasmito (Ketua) dan Ika Ningtyas (Sekjen).
Militer Myanmar telah melakukan kudeta kekuasaan terhadap pemerintahan sejak 1 Februari 2021. Di bawah kekuasaan militer, kepolisian Myanmar terus melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Di antara enam jurnalis yang ditangkap, masing-masing bekerja di Associated Press, Myanmar Now, Myanmar Photo Agency, 7Day News, Zee Kwet Online News, dan jurnalis lepas. Mereka dituduh telah melanggar undang-undang ketertiban umum karena menyebabkan ketakutan dan menyebarkan berita palsu dengan ancaman tiga tahun penjara.
Militer juga sempat membatasi dan menghentikan akses internet dan komunikasi di beberapa daerah Myanmar tanpa aturan yang jelas.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) hingga 4 Maret 2021, tercatat ada 1.507 orang ditangkap, sekitar 1.200 orang masih di balik jeruji besi dan 50 orang meninggal dunia diterjang peluru tajam. Korban diperkirakan akan terus bertambah, mengingat sikap militer yang tidak peduli dengan ancaman sanksi dari masyarakat internasional.
Kekerasan yang dilakukan oleh junta militer jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan menodai demokrasi yang menjadi landasan dalam bernegara. Penahanan terhadap jurnalis dapat memperburuk situasi kebebasan pers di negara itu. Selain itu pengekangan pers dapat mengurangi hak masyarakat di tingkat regional dan global mendapatkan informasi tentang situasi Myanmar. (NE)