Indonesiainside.id, Mojokerto – Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Prof. DR. KH. Asep Saifuddin Chalim secara tegas dan terang-terangan menolak vaksin AstraZeneca. Menurutnya, bukan berarti dirinya menolak vaksinasi pemerintah tetapi karena vaksin AstraZeneca mengandung babi jadi hukumnya haram mutlak.
“Amanatul Ummah sangat mendukung vaksinasi, asalkan jangan vaksin AstraZeneca. Kalau vaksin AstraZeneca haram mutlak bagi kami. Jadi, tidak ada halal mubah itu tidak ada,” kata Kiai Asep kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Mojokerto, seperti dilansir kanalsembilan.net.
Kiai Asep pun dengan tegas mengeluarkan larangan keras kepada 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1000 lebih tenaga pengajar di lembaga pendidikannya disuntik vaksin COVID-19 buatan Inggris tersebut.
“Fatwa MUI pusat mengatakan vaksin AstraZeneca itu mengandung (tripsin) pankreas babi dan hukumnya haram. Menurut MUI hukumnya haram, tapi diperbolehkan ketika darurat. Namun, di Amanatul Ummah tidak ada darurat. Karena selama satu tahun di Amanatul Ummah ini tidak ada yang terkena COVID-19,” katanya.
Kiai menambahkan kandungan babi dalam vaksin AstraZeneca akan berdampak negatif jika disuntikkan ke umat Islam.
Muslim yang mengonsumsi zat-zat dari babi doanya tidak diterima Allah SWT. Selain itu, proses kematian mereka saat sekarat juga akan sulit.
“Mohon maaf, banyak orang mengatakan zionis dan orientalis ingin makanan yang dikonsumsi orang-orang mukmin mengandung babi agar doanya tidak dikabulkan Allah SWT. Kan kasihan mereka adalah bangsa Indonesia, sebagai potensi Indonesia. Mohon kalimat saya ini didengar oleh Gubernur, Presiden oleh siapa saja. Kemudian MUI pusat berbuat,” katanya.
Kiai Asep juga mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban).
Menurutnya fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran. Dasar MUI Jatim tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk.
“Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya,” kata Kiai Asep.
Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin sebab ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. “Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tidak akan jadi vaksin. Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” katanya.
Dirinya kemudian merujuk pada pendapat imam madzhab, yaitu Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal. Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mati.
“Berbahaya sekali. Itulah kenapa saya ngotot ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat Jatim bahkan Indonesia. Ketika MUI Jatim hasil fatwanya tidak segera dicabut, MUI pusat tidak memanggilnya, bahayanya ini menjadi pintu masuk lebar-lebar untuk semua produk (olahan) babi dihalalkan karena istihalah. Karena semua produk babi pasti dengan Istihalah semua, tidak mungkin gelondongan berupa babi,” kata Kiai Asep.
Dirinya juga berharap pemerintah tidak menggunakan vaksin AstraZeneca untuk vaksinasi COVID-19 di Jatim. Apalagi disuntikkan ke pesantren-pesantren karena kondisi saat ini tidaklah darurat. Masyarakat masih bisa menunggu pemerintah membeli vaksin yang dipastikan halal.
Nah bagaimana dengan vaksin yang sudah dibeli. Saran Kiai Asep kepada pemerintah yang terlanjur membeli vaksin AstraZeneca dalam jumlah besar. “Solusinya agar digunakan di daerah-daerah nonmuslim yang tidak mempermasalahkan tubuhnya kemasukan unsur-unsur babi,” tuturnya. (EP)