Indonesiainside.id, Jakarta – Dewan Gereja Papua mengadukan Pemerintah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas genosida orang Melanesia di Papua. Hal itu disampaikan dalam surat tertanggal 12 April yang salinannya diterima media Australia ABC News Indonesia pekan lalu.
Dewan Gereja dalam surat itu disebutkan mendesak PBB untuk segera menurunkan tim kemanusiaan ke Papua. Mereka juga meminta PBB campur tangan atas apa yang mereka gambarkan sebagai tragedi kemanusiaan di wilayah itu.
Permintaan ini disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Komisioner HAM PBB Michele Bachelet dan ditandatangani empat pemimpin Gereja, yaitu Pendeta Benny Giay, Pendeta Andrikus Mofu, Pendeta Dorman Wandikbo, dan Pendeta Socratez S. Yoman.
“Tujuannya untuk menyelidiki kondisi pengungsi di Nduga yang telah mengungsi sejak Desember 2018 serta di Intan Jaya yang telah mengungsi sejak Oktober 2019 akibat operasi militer yang terus berlangsung,” katanya dilansir ABC, Rabu(21/4).
“Kedua, untuk memantau ribuan tentara dan polisi yang diturunkan ke Papua sejak Agustus 2019 yang disertai penambahan markas tentara dan polisi,” katanya.
Pendeta Socratez Sofyan Yoman dalam keterangannya kepada media lokal menyebut konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI/Polri di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018, telah meluas ke Kabupaten Intan Jaya.
Hingga bulan Maret 2021, sebanyak 480 orang warga sipil telah tewas.
Pendeta Yoman menambahkan, sejauh ini sebanyak 34.461 orang telah mengungsi dari Nduga dan Intan Jaya.
“Sebagian dari mereka lari ke dalam hutan, dan sebagian yang lain mengungsi ke Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Mimika, Yahukimo, dan sejumlah kabupaten sekitarnya,” jelasnya seperti dikutip Jubi.co.id.
Pengaduan Dewan Gereja Papua ini terjadi di saat tindak kekerasan KKB (kelompok kriminal bersenjata) di wilayah dataran tinggi terus berlangsung. Pekan lalu, dua guru sekolah ditembak mati di Beoga, Kabupaten Puncak.
KKB mengaku bertanggung jawab dan melemparkan tuduhan bahwa guru tersebut merupakan mata-mata pemerintah Indonesia. Kedua korban merupakan guru SMP bernama Yonatan Randen dan guru SD, Oktovianus Rayo.
Yonatan yang berasal dari Toraja, Sulsel, ditembak di rumahnya di Ujung Bandara Beoga, sedangkan Oktovianus ditembak di rumahnya di Kampung Julukoma, Beoga.
Akibat penembakan ini, aparat TNI/Polri telah mengevakuasi sejumlah penduduk saat mereka mengejar pasukan gerilya dan pendukung TPNPB.
“Di saat yang sama, kami juga prihatin dengan kerja sama antara Dinas Pendidikan Provinsi Papua dan aparat keamanan yang memungkinkan TNI dan Polri untuk mengajar di sekolah negeri sebagai bagian dari upaya pelabelan Organisasi Perlawanan Pembebasan Nasional Papua (TPN/OPM) sebagai teroris,” tambahnya.
(ABC/Red)