Indonesiainside.id, Jakarta – Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Abdul Rachman Thaha, mengkritik wacana Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau e-KTP untuk transgender.
Dia mengatakan, jika rencana itu direalisasikan dikhawatirkan ada upaya-upaya tertentu yang mengarahkan kepada pelegalan kaum LGBT.
“Ini mengarah ke pengesahan atau legalitas bagi apa yang kaum LGBT sebut sebagai jenis kelamin non-binary,” ujar Thaha dalam keterangan tertulis, Selasa (27/4).
Dia juga mempertanyakan model e-KTP untuk transgender tersebut, apakah ada tanda khusus yang membedakan dengan warga negara biasa. Pemerintah seharusnya bisa menyadari jenis kelamin dalam UU Kependudukan hanya dua, dan sekaligus berkaca pada pengalaman yang lalu untuk menetapkan kebijakan.
Dia mencontohkan kasus seorang prajurit TNI Serda Aprilia Santini Manganang yang terlahir sebagai laki-laki. Namun dia melakukan transgender karena memiliki kelainan hipospadia yang merupakan suatu kondisi kelainan sejak bayi.
Thaha mengatakan, dalam kasus Serda Aprilia Santini Manganang ini pihak TNI turut membantu status kependudukannya dengan mendapatkan penetapan dari pengadilan. Sehingga, tidak hanya nama yang berubah tapi juga status jenis kelaminnya.
“Pemerintah seharusnya mendorong mereka yang mengaku transgender untuk mendapatkan penetapan peradilan tentang jenis kelamin mereka. Dengan langkah sedemikian rupa, masalah jenis kelamin para transgender akan selesai,” ucap dia.
Thaha memprediksi jenis kelamin menjadi ambigu jika ketetapan peradilan tidak didapat oleh warga yang melakukan transgender. Pelaku transgender dipertanyakan apakah lelaki atau perempuan.
“Tidak ada jenis kelamin ketiga seperti non-binary, unspecified, dan lain-lain. Begitu pula jika merujuk UU Kependudukan. Eksplisit UU tersebut menyebut dua kelamin saja,” ucap dia.
Thaha berharap Kemendagri bisa memberikan klarifikasi kepada publik dan jajaran Kemendagri. KTP bagi kalangan yang menyebut dirinya transgender sama sekali bukan legalitas dari negara terhadap jenis kelamin “ketiga” selain lelaki dan perempuan.
“Jangan sampai e-KTP (yang di dalamnya secara definitif mencantumkan jenis kelamin tertentu) dimanfaatkan sebagai alat pengesah transgendernya. Lalu mereka berpropaganda atau berkampanye bahwa menjadi transgender bukan lagi masalah di sini,” tuturnya. (Aza)