Indonesiainside.id, Jakarta– Koalisi masyarakat sipil menyayangkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 tidak menyinggung penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. KontraS mencatat lebih dari delapan kali Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan.
Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina mengatakan padahal sejak awal kepemimpinannya, lebih dari delapan kali Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. “Kiranya ini bukan janji manis presiden semata tapi harus diselesaikan,” ujar Jane dalam siaran pers secara virtual, Rabu (23/6).
Dia mengatakan dalam RANHAM 2021-2025 yang bersih dari prioritas penuntasan kasus masa lalu, jelas mencerminkan pemerintah enggan segera mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat. “KontraS memandang bahwa isu pelanggaran HAM hanya merupakan sebuah komoditas dengan memilih sejumlah isu mikro yang bebas dari risiko stabilitas politik di tatanan pemerintahan hari ini,” ucap dia.
KontraS, kata dia, mendesak penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi prioritas negara dan masuk dalam perubahan RANHAM 2021-2025. “Pelanggaran HAM berat masa lalu seharusnya memang masuk ke dalam RANHAM periode ini supaya kasus-kasus serupa tidak berulang di zaman yang akan datang,” tutur Jane.
Tuntutan korban pelanggaran HAM berat masa lalu
Keluarga korban Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih mengaku prihatin atas terbitnya Perpres RANHAM 2021-2025. Menurut Sumarsih, Perpres tersebut tidak sejalan dengan janji Jokowi untuk mengusut tuntas persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kasus HAM berat masa lalu, ujar dia, selama ini hanya dijadikan komoditas politik tanpa ada ujung penyelesaian .“Terbitnya Perpres mengenai RANHAM 2021 – 2025 ini membuat keprihatinan saya terhadap tutur kata Presiden Jokowi yang tidak sejalan dengan tindakan apalagi menjadikannya sebagai suatu paket kebijakan,” kata dia.
Meski begitu, dia mengaku tidak akan pernah berhenti menuntut pertanggung jawaban negara dalam mewujudkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. “Siapapun yang jadi presiden kami keluarga korban tidak akan pernah berhenti untuk menuntut pertanggung jawaban negara,” tutur Sumarsih.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) Bedjo Untung menyatakan sangat kecewa dengan Perpres ini. “Terus terang, saya sebagai korban Tragedi 65 sangat kecewa,” ujar Bedjo.
Menurut dia, komitmen Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu semakin tidak jelas dan tak dapat diharapkan. Dia pun mengajak para keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu melakukan gugatan class action menuntut negara yang tidak menyelesaikan janji bahkan melawan komitmen awal.
“Kami meminta bantuan Koalisi Masyarakat Sipil untuk mendorong gugatan ini,” ujar Bedjo.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025. Salah satu poin yang berbeda dari Rencana Aksi HAM ini, memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM.
Perpres yang ditekan Jokowi pada 8 Juni ini memuat empat kelompok yang disebut sebagai sasaran, yakni, perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat. (NE/aa)