Ketawa-ketawa Wapres Kyai Ma’ruf itu, tentu bukanlah sama maknanya dengan ketawa-ketawa orang kebanyakan
Oleh: Ady Amar
Indonesiainside.id–Sesuai dengan yang diprediksi, bahwa gelaran BEM-UI pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan The King of Lip Service, itu akan menuai kreativitas BEM-BEM Universitas lainnya untuk juga bergerak dengan inisiatif memberikan gelaran susulan.
Maka gelaran-gelaran lainnya pun muncul. Gelaran yang terbaru yang menyengat diberikan pada Wapres KH Ma’ruf Amin, The King of Silent (Raja Diam). Gelaran itu diberikan oleh BEM, Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM Unnes). Maka Presiden dan Wakil Presiden resmi punya gelar, yang itu bisa diingat sepanjang masa.
Itulah bentuk kreativitas mahasiswa yang meski hanya gelaran, tapi daya sengatnya dahsyat. Itu lebih dahsyat dari demonstrasi ribuan mahasiswa mengepung istana negara sekalipun. Demonstrasi itu hanya diingat sesaat, tapi gelaran yang menyengat itu, punya daya kekuatan magis yang dahsyat, dan dengan durasi panjang.
Saat Presiden Jokowi mendapat gelaran itu, ia pun bereaksi meski tampaknya tidak marah, tapi kesal tidak bisa disembunyikan. Itu bisa tampak dari pernyataan bahwa mahasiswa menyalurkan aspirasi itu hal biasa, tapi harus juga menjaga etika, sopan santun. Lebih kurang demikian yang disampaikan Presiden Jokowi itu. Meski tersirat, itu menampakkan bahwa gelaran itu menurutnya tidak etis.
Respons Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, sebagaimana dikatakan jubirnya Masduki Baidlowi, biasa-biasa saja, bahkan ketawa-ketawa… Ha ketawa-ketawa, ya setidaknya itu repons Wapres. Tidak ada yang salah dengan ketawa-ketawanya Wapres Kyai Ma’ruf itu. Setidaknya lumayanlah kita diberitahu, bahwa Wapres masih bisa tertawa.
Ada pula yang disampaikan jubirnya itu, bahwa Wapres yang Kyai itu pantang memakai jasa buzzer untuk mengkounter “kreativitas” gelaran yang diberikan mahasiswa itu. Pernyataan jubir itu setidaknya mengisyaratkan, bahwa buzzer itu ada dan jasanya dipakai untuk mengkounter setiap orang yang menyerang pejabat bersangkutan. Tapi Wapres terbebas dari itu.
Ketawa-ketawa Wapres Kyai Ma’ruf itu, tentu bukanlah sama maknanya dengan ketawa-ketawa orang kebanyakan. Apalagi ketawa-ketawa Kyai Ma’ruf, itu hanya disampaikan jubirnya. Tidak persis tahu apakah ketawa-ketawanya itu ketawa lepas atau ketawa dalam makna lainnya. Setidaknya jubir mau meyakinkan, bahwa Wapres KH Ma’ruf Amin tidak menganggap gelaran yang diberikan itu sesuatu buatnya.
Wapres KH Ma’ruf Amin, sebenarnya tidak benar-benar bisa disebut “Raja Diam”. Ia bicara juga, meski tidak sering dan tidak terekspos dengan baik. Pernyataan-pernyataan yang dibuat memang tidak atau setidaknya kurang layak menjadi berita yang punya nilai berita yang patut diberitakan. Sehingga cuma lebih muncul di running text televisi berita.
Dan memang yang disampaikan Wapres Kyai Ma’ruf hal-hal tidak penting, misal tentang munculnya gerakan radikal yang perlu diwaspadai. Pernyataan tidak produktif, terkesan mengada-ada, seperti asal bicara saja. Ada lagi pernyataan Wapres yang menggelikan, meski tidak perlu yang mendengar harus ketawa-ketawa.
Itu saat Wapres mengatakan, bahwa masyarakat “wajib” melakukan tamasya ke Raja Ampat, Papua Barat. Bagaimana mungkin pada situasi pandemi Covid-19 ini malah Wapres menganjurkan untuk pelesir. Tapi lalu diralat jubirnya, bahwa itu jika pandemi sudah berlalu. Relevansi itu dibicarakan pada saat pemerintah meminta masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan jika tidak benar-benar perlu, itu menjadi berantakan.
Tampak ada kelemahan orang-orang disekitar Wapres, staf-staf khususnya terutama, mengelola isu-isu yang bisa diberikan padanya. Sehingga yang disampaikan Wapres bukan hal-hal substansial yang ada relevansinya dengan kondisi saat ini. Mestinya yang muncul pernyataan-pernyataan berkelas dari kantor Wapres. Pernyataan-pernyataan yang menjual, punya nilai berita, dan itu dibutuhkan rakyat.
Harusnya pernyataan-pernyataan yang muncul, atau perlu disampaikannya adalah yang mampu menumbuhkan “imun” masyarakat. Pernyataan-pernyataan yang lebih menyentuh hati, menyadarkan masyarakat untuk terus optimis di tengah serbuan Covid-19 yang makin dahsyat. Mestinya pada wilayah itu Wapres dihadirkan.
Meski jabatan Wapres itu biasa disebut dengan “ban serep”, tapi menarik jika jadi ban serep yang hadir saat diperlukan. Saat ban utama bocor di sana-sini, maka ban serep hadir untuk membackup kerja Presiden. Maka ban serep itu tidak lalu pantas diberi gelaran The King of Silent segala. Tapi gelar itu sudah diberikan, terima sajalah itu meski dengan ketawa-ketawa tanpa tahu apa maksud dari ketawa-ketawanya itu. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya