Indonesiainside.id, Jakarta – Adanya mutual distrust atau krisis kepercayaan masyarakat menjadi salah satu hambatan dalam upaya mensukseskan program vaksinasi. Hal ini dikemukakan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti seperti dilansir di laman muhammadiyah.or.id.
Mu’ti mengatakan hal ini dapat dilihat dari beredarnya hoaks seputar vaksin dan banyaknya orang yang percaya bahwa vaksinasi dirancang oleh negara lain untuk melumpuhkan Indonesia. “Padahal vaksinasi itu adalah bagian dari cara dan ikhtiar manusia untuk bisa memiliki ketahanan, imunitas agar bisa relatif terlindungi dari kemungkinan tertular Covid-19. Vaksinasi itu bukan pengobatan, tapi perlindungan,” ucap Mu’ti dalam di Gresik, Senin (2/8).
Bagi umat muslim, Abdul Mu’ti berpesan bahwa vaksinasi adalah bagian dari usaha yang dipandang benar sesuai kepercayaan ahlu sunnah dalam menghadapi masalah, yakni wajib mendahulukan ikhtiar sebelum bertawakal.
“Inilah saya kira bagian dari ikhtiar di mana kita sebagai bagian dari umat beragama itu diwajibkan oleh Allah untuk senantiasa berikhtiar dan kemudian keputusan akhir dari ikhtiar itu berada di tangan Allah dan berada di tangan kita,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa ini adalah konstruksi teologi ahlu sunnah yang menurutnya sangat tepat untuk diangkat. Dan kemudian setelah kita berusaha, berikhtiar, ada saatnya kemudian kita bertawakal dan bertawakal itu adalah ciri dari hamba Allah yang muttaqin, yang menyadari bahwa setiap dari kita ini harus berusaha, setiap kita ini harus berikhtiar. “Tapi tidak boleh kita bergantung pada ikhtiar karena kita semuanya hanya bertawakul hanya bergantung kepada Allah,” imbuhnya.
Untuk itu Mu’ti mengatakan bahwa vaksinasi itu adalah bagian dari ikhtiar ilmiah, sedangkan tawakal itu adalah ikhtiar diniyah. “Dua-duanya harus kita gabungkan dan itulah saya kira visi dan pandangan Muhammadiyah bagaimana kita terlibat dalam gerakan-gerakan kemanusiaan itu,” pesan Mu’ti.
Karena itu, ia menambahkan, maka bagaimana pandangan kita mengenai penyakit, mengenai Alquran, mengenai Islam dan sikap kita di dalam menyelesaikan berbagai persoalan itulah yang kemudian menjadi distingsi, pembeda antara umat dan bangsa yang berkemajuan, umat dan bangsa yang berilmu pengetahuan tapi juga kemudian umat dan bangsa yang berkeadaban. (Ima)