Indonesiainside.id, Jakarta – Epidemiolog Universitas Indonesia, dr Pandu Riono menyatakan harga PCR Rp450-550 ribu masih mahal.
Presiden Jokowi seharusnya memerintahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menurunkan harga tes polymerase chain reaction (tes PCR) serendah-rendahnya sampai Rp150 ribu.
“Tes PCR berdasarkan e-Catalogue bisa ditekan 150 ribu rupiah. Pak @jokowi memerintahkan ke pak @BudiGSadikin @KemenkesRI harus menekan kemahalan dengan serendah-rendah dan secepat-cepatnya. Kalau dipatok 500 ribu itu masih sangat mahal,” posting Pandu Riono di akun Twitternya.
Pandu yang biasa dipanggil dengan sebutan Juru Wabah ini juga menyebut tes cepat antigen bisa ditekan hingga Rp70 ribu rupiah.
“Satu dus tes antigen berisi 25 tes. Satu dus tes PCR berisi 100 tes. Jadi kenapa bisa terjadi harga kemahalan, walaupun sudah diprotes, karena banyak yang diuntungkan dan tidak pengawasan yang ketat dari regulator Kemenkes RI,” tuturnya.
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi juga menilai harga tes PCR kemahalan. “Meski presiden sudah menurunkan separohnya itu masih mahal. Harusnya lebih rendah lagi,” katanya.
Baidowi mencontohkan di Uzbekistan, harga PCR sekitar Rp350 ribu. “Itu pun yang (hasilnya) 6 jam. Kalau yang 24 jam lebih murah lagi,” ujar pria yang akrab disapa Awiek dalam keterangan tertulis, Ahad (15/8).
Peneliti ICW Wana Alamsyah juga membandingkan harga tes PCR Indonesia dengan India. Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000.
Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 sebelumnya menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900.000 atau sekitar 10 kali lipatnya.
Wana menemukan adanya masalah dalam penetapan harga Kemenkes. Kalau disebutkan bahwa harga reagent impor itu mahal, nyatanya pemerintah telah membebaskan pajak impor barang untuk penanggulangan pandemi Covid-19 termasuk tes PCR.
ICW menilai ada gap lima kali lipat dibandingkan dengan harga alat PCR yang sebenarnya.
Lantas siapa yang mengeruk untung di masa pagebluk ini?
(Nto)