Indonesiainside.id, Jakarta – Presiden Jokowi meminta harga tes PCR diturunkan menjadi Rp450-550 ribu. Hal ini setelah ramai tuntutan masyarakat yang mengeluhkan mahalnya harga tes Covid-19 itu.
Bayangkan saja di India harga PCR hanya Rp97 ribu rupiah. Jika dilakukan tes di rumah hanya Rp140 ribu. Jauh sekali dibandingkan harga tes PCR di Indonesia yang bisa melampaui Rp1 juta rupiah, lebih tinggi dari harga maksimal yang ditetapkan Kemenkes yakni Rp900 ribu.
ICW menilai harga PCR bisa lebih murah dari yang disampaikan Presiden. Hal ini jika komponen harga yang ditetapkan dilakukan terbuka. Hal ini untuk memupus keuntungan sepihak pengusaha di tengah himpitan rakyat di masa pandemi.
Peneliti ICW Wana Alamsyah menyampaikan, mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia, tentu berdampak pada upaya Pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19.
“Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Kesehatan, mahalnya tarif pemeriksaan karena bahan baku untuk tes PCR masih bergantung pada impor dan harga reagen yang mahal,” kata Wana dalam keterangannya, Senin (16/8).
Dari penjelasan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, ICW menemukan dua permasalahan.
Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk produk test kit dan reagent laboratorium.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepaeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR.
“Tidak adanya biaya impor barang tentu akan mempengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR. Yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR,” ungkap Wana.
Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh pelaku usaha senilai Rp 180.000 hingga Rp 375.000.
Setidaknya ada enam merek reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak 2020, seperti Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure, dan Liverifer.
“Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh pelaku usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat,” katanya.
Dia menuturkan, Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh Pelaku Usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR.
“Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” tegas Wana.
Sementara itu, anggota DPR Fraksi PKB Luqman Hakim juga menilai harga PCR harusnya lebih rendah dari Rp500 ribu. Penetapan harga hingga Rp900 ribu harus dipertanyakan untungnya yang mengambil siapa.
“Kalau tanpa pajak (dan profit? harusnya harga test PCR jauh di bawah Rp. 500rb. Jika selama ini ditetapkan harga tertinggi Rp. 900rb, entah siapa yg ambil untung,” postingnya, Senin(16/8).
Anggota dewan dari Dapil Jawa Tengah ini juga meminta KPK turun tangan terkait program tes PCR. Hal ini agar terang benderang dan tidak ada satu pihak yang mengambil untung di kala rakyat tengah buntung dihantam pandemi.
“Ada baiknya @KPK_RI memeriksa program test PCR, agar terang ada-tidaknya rekayasa utk memperkaya pihak tertentu.🙏,” katanya. (Nto)