Indonesiainside.id, Semarang—Di era modern dunia telah berubah dengan tidak ada lagi representasi bahwa wanita difabel. Yang mengkhawatirkan, representasi yang ada media di era kontemporer abad 21 ini lebih memperlihatkan realitas yang tidak nyata, seperti perempuan difabel harus cantik bahkan ada kontes kecantikan difabel.
Demikian disampaikan Prof. Lynn Rose, Direktur Penelitian & Studi Disabilitas di Pusat Studi Gender dan Pembangunan di Universitas Amerika Irak dalam International Webinar “Woman and The Media” yang diselenggakaran Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Undip), hari Selasa.
Menurut Prof. Lynn ada beban baru di abad 21 yang menimpa perempuan difabel, dimana ia justru dituntut untuk cantik. Padahal perempuan difabel pada kenyataannya memiliki banyak dimensi sebagai manusia.
Ia memberikan gambaran-gambaran tentang perempuan seperti dalam Women and Other Monsters karya Jess Zimmerman dengan sampul buku hijau dengan font hitam tebal yang mengeksplorasi bahaya potensial dari wanita liar di dunia Yunani-Romawi kuno. “Dia berbicara tentang wanita yang tubuhnya berubah menjadi tanda bahaya bagi pria dan kisah peringatan bagi wanita, dan inilah yang masih kita lihat, 25 abad dalam sejarah manusia kita,” ungkapnya.
Lynn juga menjelaskan tentang Medusa. Dulunya ia perempuan yang sangat cantik.
Karena kecantikannya itu, ia diperkosa oleh Poseidon dan dikutuk oleh Athena menjadi sangat jelek, dengan kepala penuh ular berbisa dan tatapan yang mematikan. Zimmerman berbicara tentang “pita kecantikan yang sempit” di mana wanita didorong untuk menyempurnakan diri mereka sendiri.
Acara ini juga mengundang pembicara Dr. Sunarto (Dosen Ilmu Komunikasi Undip). Sunarto dalam bahasannya menuturkan, akhir-akhir ini industri media menghadapi teknologi baru sebagai konsekuensi dari kemajuan internet.
Kondisi ini secara ekonomi membuat media sulit berkembang secara finansial. Era 4.0 memberikan dampak negatif bagi industri media ketika tidak dapat beradaptasi dengan kondisi baru.
Dalam kasus media lokal, semua pemimpin mencoba mengembangkan strategi baru untuk memecahkan masalah ekonomi mereka. Era baru ini menimbulkan masalah ekonomi bagi industri media di Indonesia.
“Pandangan feminis nampaknya belum berhasil mengatasi dominasi laki-laki dalam industri media konvensional di Era 4.0 ketika kepentingan ekonomi masih mendominasi di balik kebijakan dan produknya, “ kata Sunarto.
Menurutnya, pemimpin jurnalis perempuan tampaknya hanya menggerakkan kepentingan ekonomi laki-laki ketika memproduksi kebijakan dan konten untuk memenuhi kepentingan perempuan. Namun, ketika jurnalis perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi manajemen puncak editorial di industri media konvensional, ada peluang bagi mereka untuk mempengaruhi dan mengubah lingkungan mereka menjadi sensitif gender.
Menurut laman resmi undip, acara yang dimoderatori Amida Yusriana, M.Ikom (Dosen Ilmu Komunikasi Undip), diselenggarakan dalam rangka mendukung program World Class University. (NE)