Indonesiainside.id, Surabaya—Kemiskinan dan kemalasan adalah dua hal yang berberda dan tidak saling berhubungan. Sebab, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya structural, bukan kultural, demikian disampaikan Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si.
“Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR ini.
Menurut Bagong, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras daripada pekerjaan kelas menengah. Namun karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.
Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 lalu mengungkap, bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus. Ia mencontohkan, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin, karena ketiadaan modal yang cukup.
“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” paparnya.
Dekan FISIP UNAIR itu juga menyampaikan bahwa selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi. Di mana kebijakan itu belum berpihak untuk melindungi si miskin.
Terkait ini ia mecontohkan kebijakan di Kota Bontang. Di mana Pemda melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk. Hasilnya, usaha-usaha kecil dari masyarakat setempat tumbuh.
“Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” imbuhnya.
Bagong juga menjelaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal) dan kesadaran kelas. “Kemiskinan terjadi ketika orang sadar akan kelasnya. Dia dimana. Ini yang membuat isu kemiskinan dikaitkan dengan isu stratifikasi,” ungkapnya. (NE)